اَلْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ
“Hukum asal jima’ (hubungan seksual) adalah haram”
Allah SWT menciptakan manusia dan meninggikan derajatnya di banding makhluk-Nya yang lain. Salah satu wujudnya adalah Allah SWT menjaga kesucian keturunan mereka dengan sebuah syariat yang bernama pernikahan. Syariat yang Allah SWT tetapkan dalam persoalan ini cukup ketat dan detail.
Allah menetapkan bahwa kehalalan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan hanya disebabkan oleh dua hal; pernikahan dan kepemilikan (budak). Dia juga mengatur perempuan mana saja yang boleh dinikahi oleh laki-laki. Selain itu, Dia juga menyiapkan hukuman bagi mereka yang enggan tunduk pada ketentuan-ketentuaan-Nya. Dirajam dengan batu hingga meninggal dunia, jika ia sudah pernah melangsungkan pernikahan yang sah. Atau dijilid seratus kali dan diasingkan selama setahun, jika ia belum pernah melangsungkan pernikahan.
Dari berbagai detil persoalan dalam hal inilah, para ahli fikih kemudian merumuskan kaidah al-Ashlu fil Abdha’i at-Tahrim. Kaidah ini dimasukkan oleh para ahli fikih sebagai turunan dari kaidah al-yaqinu la yazulu bisy-syakk—suatu yang yakin (pasti) tidak gugur dengan adanya keraguan. Ini karena keharaman hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hukum asal, yang meyakinkan. Kecuali terbukti sesuatu yang menghalalkan hubungan keduanya.
MAKNA KAIDAH
Kata Abdha’ yang merupakan kata kunci dalam kaidah ini merupakan bentuk plural dari budh’. Budh’ sendiri dalam bahasa Arab berarti faraj wanita. Kata budh’ ini kemudian dipakai sebagai kiasan dari perempuan, pernikahan, dan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. (Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 176)
Makna seperti ini dapat kita temukan dalam sabda Rasulullah SAW ,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dan pada kemaluan kalian (maksudnya adalah melakukan jima’ dengan istri) merupakan sedekah.”
Kemudian para sahabat lantas bertanya bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya, dia akan mendapatkan pahala?’
Beliau lalu bersabda,
‘Bagaimana pendapat kalian seandainya dia menyalurkannya di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?’ Demikianlah halnya jika dia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.'” (HR. Muslim, no hadits. 1006)
Adapun makna kaidah al-Ashlu fil Abdha’ at-Tahrim yaitu hukum asal dalam persoalan jima’ dan pernikahan adalah haram. Hal itu diperbolehkan demi keberlangsungan keturunan manusia yang diatur dan sesuai dengan ketentuan syariat. (lihat Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa’idil Fiqh al-Kulliyyah, hal. 115)
Oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara dalil yang menghalalkan dan dalil yang mengharamkan dalam persoalan ini, maka dalil yang dimenangkan adalah yang mengharamkan. Hal itu demi mengamalkan kaidah bahwa jika suatu yang halal dan haram berkumpul, maka yang dimenangkan adalah yang haram.
Atas dasar ini juga, tidak wajib melakukan penelitian untuk memastikan status (at–taharri) dalam persoalan kemaluan yang samar-samar tersebut. Ini lantaran at-taharri hanya boleh diterapkan pada persoalan yang boleh dikerjakan lantaran darurat. Sementara dalam persoalan kemaluan, meski dalam kondisi darurat, hal itu tetap tidak boleh dikerjakan. (Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, hal. 176)
DALIL KAIDAH
Sandaran kaidah ini di antaranya yaitu firman Allah SWT,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu (zina, dan sebagainya) maka mereka itulah yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun: 5-7).
Maksud dari ‘menjaga kemaluannya’ yaitu dengan mengekang dalam menyalurkan syahwat kemualuannya. Mereka hanya menyalurkan syahwat mereka kepada istri-istri dan hamba sahaya yang mereka miliki. Siapa yang menyalurkannya selain kepada keduanya maka ia termasuk orang yang melampau batas. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum asal yang berkaitan dengan kemaluan adalah haram, kecuali yang dibolehkan oleh syariat. (lihat Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha, hal. 137)
Selain dalil dari al-Qur`an, kaidah ini juga berlandaskan kaidah umum yang disepakati oleh seluruh syariat samawi, yaitu menjaga keturunan dan kehormatan manusia. Dengan terpeliharanya hal itu, masyarakat akan menjadi kuat, suci, dan solid; tidak terjadi penyimpangan, kedengkian, dan permusuhan sasama mereka. (ibid)
APLIKASI KAIDAH
Berlandaskan kaidah ini, lahirlah beberapa persoalan furu’ (turunan) dalam ilmu fikih. Di antara contoh turunan tersebut, yaitu:
Apabila seorang perempuan mahram lantaran nasab atau persusuan bagi seorang laki-laki bercampur dalam sebuah keluarga. Perempuan yang menyusui dan perempuan yang disusui, keduanya sama-sama tidak tahu persis siapa di antara perempuan dalam keluarga tersebut yang pernah menjadi anak sesusuan. Dalam kondisi ini, diharamkan menikahi salah seorang perempuan dalam keluarga tersebut.
Seorang wanita yang salah satu orang tuanya ahli kitab dan lainnya Majusi atau atheis, maka seorang laki-laki Muslim dilarang untuk menikahi wanita tersebut. Hal ini karena terkumpulnya antara yang menyebabkan halal (ahli kitab) dan haramnya (Majusi atau atheis) wanita itu dinikahi. Sementara jika antara yang halal dan haram terkumpul, maka yang dimenangkan adalah sisi yang haram.
Seseorang yang mentalak salah seorang istrinya dengan talak tiga, atau mentalak tiga dari empat istrinya, kemudian ia lupa siapa saja istri yang ditalaknya, maka ia tidak diperbolehkan menggauli salah seorang istrinya, kecuali setelah ia mengetahui dan ingat dengan pasti istri yang telah ditalaknya.
Seorang wakil yang diminta untuk membeli seorang wanita hamba sahaya berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Perwakilan tadi lalu membeli wanita hamba sahaya berdasarkan kriteria yang diminta, namun ia meninggal lebih dahulu sebelum ia menyerahkan hamba sahaya tadi. Dalam kasus ini, hamba sahaya tadi tidak otomatis menjadi milik orang yang mewakilkan dan ia tidak boleh menggaulinya, meski kriterianya telah terpenuhi. Ini karena tidak menutup kemungkinan hamba sahaya itu dibeli untuk dimiliki sendiri oleh wakil tadi. Sehingga ketika bertemu antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah yang haram.
PENGECUALIAN KAIDAH
Dikecualikan dalam kaidah ini adalah jika perempuan mahram bagi seorang laki-laki bercampur dengan perempuan-perempuan lain dalam suatu lingkup yang besar atau tidak terbatas (ghairu mahshurah) seperti satu desa; bukan dalam satu keluarga. Diperbolehkan bagi laki-laki tersebut menikahi salah seorang dari perempuan desa tersebut. Sebagai bentuk rukhshah dari syariat, agar tidak tertutup pintu pernikahan dan keberlangsungan keturunan. Wallahu A’lam. []
Posting Komentar