0
Apa Yang Menghalangimu Untuk Menikah?
Pernahkah terpikir oleh kita, ketika seruan anti pacaran begitu gencar, penuh gairah, dan diliputi semangat yang membara. Banyak pemuda muslim yang benar-benar menghapuskan kata pacaran dari kamus hidup mereka.

Mereka dengan pede berteriak lantang “TIDAK UNTUK PACARAN!!!”, mereka penuhi waktu-waktu “senggang” mereka dengan berbagai aktivitas sosial dan dakwah. Tak ada lagi kiriman bunga merah hati, janji di sabtu malam, ataupun sekedar saling bertukar emoticon cinta di media sosial. Yang tersisa hanyalah jadwal tahsin harian, halaqah pekanan, rapat aksi sosial, dan jadwal-jadwal “membosankan” lainnya.

Namun masalah datang, ketika mereka khususnya para ukhti ukhti telah mencapai usia membutuhkan seorang teman hidup. Seorang teman yang bukan sekedar membersamainya menjalani ruang dan waktu, namun seorang teman yang juga dapat “saling memenuhi satu sama lain”.

Terkadang pada usia tersebut, mereka tidak mendapati ikhwan baik-baik yang mau mempersunting mereka. Para ikhwan yang baik-baik memang mengatakan tidak pada pacaran, namun mereka masih bimbang antara iya atau tidak pada menikah muda, bahkan sebagian ada yang tegas berucap tidak.

Aneh memang, kalian para ikhwan baik-baik ternyata kurang kaffah dalam memahami pergaulan antar lawan jenis yang Islami. Islam tak pernah melarang tanpa memberi solusi. Pergaulan yang terlalu intim antar lawan jenis memang dilarang, tetapi Islam tak pernah memberatkanmu perihal kapan harus menikah. Islam tak pernah mengatur soal seberapa tebal dompetmu serta seberapa tinggi gelarmu ketika harus mempersunting seseorang.

Tidakkah kalian sadari, hampir setiap kata نكح (nakaha) yang berarti menikah dalam Al Qur’an mengambil bentuk amr atau perintah.

Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 3,

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“…maka nikahilah wanita yang kamu sukai…”

Dan juga dalam surat An Nur ayat 32,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…”

Memang tidak semua amr menunjukkan wajibnya suatu perkara, dan menikah sendiri hukum asalnya menurut madzhab syafii adalah mustahab atau disunnahkan. Tapi pertanyaannya, kesibukan macam apakah yang telah membuatmu menunda untuk melaksanakan perintahNya?

Untuk menikah sendiri kalian hanya perlu menjadi seorang muslim yang sehat jasadnya serta akalnya dan baligh atau cukup umur, selanjutnya kalian wajib mengupayakan tiga hal; mahar, ijin atau restu dari wali, serta kesediaan dua orang pria muslim yang baligh, berakal, dan merdeka untuk menjadi saksi.

Bagi orang yang telah merasa baligh dan berakal, tiga hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Sekali lagi syariat tak pernah memberatkan perihal mahar, bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyebut cincin besi sebagai batasan minimal mahar. Ya cincin besi, sesuatu yang tak ada harganya di mata kalian, tak mungkin kan kalian pamer cincin besi di depan khalayak kecuali jika ada sepotong bacan menempel di atasnya.

Sebaliknya bagi wanita pun seperti itu, Islam memuji mereka yang bersedia menerima mahar yang sederhana. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah ucapan Rasulullah SAW,

إِنَّ مِنْ يَمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ صَدَاقُهَا

“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya…”

Hal ini bukan berarti wanita menjadi rendah harga dirinya, namun sebaliknya dia justru sedang mempermudah jalan seseorang dalam kebaikan dan ketaqwaan.

Dan seperti yang saya bilang di awal, saya tidak sedang meracau atau mengarang kisah perihal ukhti-ukhti yang menanti pinangan. Ini realita, tak bisakah kalian lebih sensitif melihat di pagi hari mereka menulis di lini masa medsos mengenai esensi tauhid, keutamaan sedekah, indahnya pengorbanan, namun di siang hari mereka memposting foto secangkir teh dengan caption “kapankah cangkir ini menemukan tutupnya?”.

Dan banyak dari mereka yang setelah berhijrah menyeru keluarganya untuk berhijrah juga. Beberapa di antara mereka berhasil “menyeret” keluarganya ke dalam barisan dakwah, beberapa di antara mereka hanya berhasil membujuk mereka sebagai pendukung dalam artian pasif saja. Jadi saya pikir ijin atau restu wali bukanlah tantangan terbesarmu dalam hal ini.

Begitupun perihal dua orang saksi. Seintrovert apapun kepribadianmu, sejarang apapun kamu menghadiri halaqah pekanan atau liqo bulanan, kalian pasti mengenal baik teman halaqahmu meskipun seorang. Cukup kamu bawa dia dan ustadz halaqahmu untuk menjadi saksi.

Jadi sebenarnya apa yang menghalangi kalian untuk menikah muda selain pertimbangan-pertimbangan yang tak terlalu syar’i?

Apakah kalian tidak terenyuh melihat banyaknya realitas bahwa pada akhirnya ada beberapa ukhti yang tidak lagi ikut kajian setelah menikah dengan laki-laki awam, ada pula yang pada akhirnya rela dipersunting oleh pria yang lebih tua untuk dijadikan yang kedua, ketiga, atau keempat, dan ada pula yang akhirnya kembali berbalik arah pada kejahiliyahan dan berpacaran.

Saya tidak bermaksud menyalahkan pilihan seseorang atau mencela poligami, tetapi tidakkah kalian pahami jika sikap kalian yang sok kebanyakan mikir itu yang menjadi penyebab awalnya.

Apakah kalian tidak meyakini sifat Ar Razaq, bahwa setiap makhluk di muka bumi ini sudah ditentukan bagian rizkinya, mulai dari cacing hingga manusia. Apakah kalian mulai tak percaya kepada Allah SWT dan menggantungkan keputusan kalian pada hal-hal yang fana.

Atau sejatinya kalian hanyalah seperti yang dikatakan Umar bin Khattab RA :

ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

“Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan (lemah syahwat) atau kemaksiatan (ahli maksiat)”
.
.
┏ ===  ❀❀✿❀❀  === -┓
               Link grup 


  ┗ ===  ❀❀✿❀❀  === -┛

Posting Komentar

 
Top