Keluarga Dakwah - Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat. (HR Bukhari)
Senada hadits tersebut, kita juga telah mendengar ungkapan orang bijak bahwa kehidupan ini sejatinya hanya sebuah persinggahan, mampir ngombe, atau sekedar lewat karena semuanya bermuara kepada akhirat yang abadi.
Suatu ketika Ibnu Mas’ud RA melihat Rasulullah SAW tidur di atas tikar yang lusuh sampai pola anyaman membekas di pipinya. Kemudian Ibnu Mas’ud menawarkan kepada beliau sebuah kasur. Beliau malah menjawab,
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR Tirmidzi)
Bila kita renungkan, adakah pengendara yang merasa nyaman dengan tempat persinggahannya. Senyaman apapun suasana tempat persinggahan, seindah apapun pemandangan yang disuguhkan, tetap saja kepalanya hanya memikirkan bagaimana agar cepat sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Adakah seorang yang dalam perjalanan umroh ke Mekkah, lalu ketika penerbangannya transit di Oman, dia terpesona dengan keindahan negeri Oman dan dia merasa nyaman dengan berbagai kemudahan yang ada, lalu dia membatalkan niat umrohnya dan mencukupkan dirinya untuk berkeliling Oman?
Begitupun kita di kehidupan ini, bagi orang-orang menyadari perannya sebagai pengembara maka dia tidak akan merencanakan untuk menghabiskan seluruh waktunya di dunia yang nyata-nyata hanyalah tempat persinggahannya.
Seorang yang sadar hatinya akan senantiasa dipenuhi kerinduan akan tujuan akhirnya, yaitu surga, di mana dia dapat bertemu Allah SWT dan Rasulullah SAW yang sangat dia rindukan. Seorang yang sadar tidak akan takut pada apa yang namanya kematian, karena mereka sadar bahwa kematian hanyalah pintu yang akan menghantarkannya pada tujuan akhir.
Mereka justru seringkali sangat menderita dan tidak nyaman di kehidupan dunianya. Lain halnya dengan orang-orang yang belum tersadarkan, mereka akan menganggap kematian sebagai jurang pemisah antara mereka dengan apa-apa yang mereka cintai.
Rasulullah SAW bersabda,
“Kehidupan dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” (HR Muslim)
Pada suatu ketika seorang yahudi Mesir bertanya mengenai hadits tersebut kepada Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani (penulis kitab Bulughul Maram),
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ‘Kehidupan dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.’ Namun kenapa engakau sebagai orang mukmin justru menjadi hakim besar di Mesir, diarak dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini. Sedangkan aku yang kafir dalam penderitaan dan kesengsaraan seperti ini?!”
Ibnu Hajar pun menjawab,
“Aku dengan keadaaanku yang penuh kemewahan dan kenikmatan ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedangkan penderitaan yang engkau alami di dunia jika dibandingkan dengan azab neraka itu seperti sebuah surga.”
Mendengar jawaban tersebut orang Yahudi tersebut pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan keislamannya.
Dengan kalimat yang berbeda, Imam Nawawi menerangkan hadits tersebut,
“Maknanya bahwa setiap mukmin itu dipenjara dan dilarang di dunia ini dari kesenangan-kesenangan dan syahwat-syahwat yang diharamkan dan dibenci. DIa dibebani untukmelakukan ketaatan-ketaatan yang terasa berat. Apabila dia meninggal, dia akan beristirahat dari hal in. Dan dia akan berbalik kepada apa yang dijanjikan Allah SWT berupa kenikmatan abadi dan kelapangan yang bersih dari cacat. Sedangkan orang kafir, dia hanya mendapatkan dari kesenangan dunia yang dia peroleh, yang jumlahnya sedikit dan bercampur dengan kesusahan dan penderitaan. Dan bila dia telah mati, dia akan menuju siksaan yang abadi dan penderitaan selama-lamanya.” (Syarah Shahih Muslim)
Seorang muslim haruslah menjadi pribadi yang sadar bahwa dunia dengan segala macam kegemerlapannya hanyalah tempat persinggahan. Seorang muslim tidak boleh terperdaya dan terlena sehingga tersibukkan dengan perkara-perkara duniawi.
Namun bukan berarti mengabaikan sepenuhnya kehidupan dunia yang fana ini. Kita tidak boleh lupa bahwa Allah SWT juga memberikan amanah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Hanya kita benar-benar harus berhati-hati agar tidak terlalu terikat hingga melupakan tujuan kita. Tidaklah salah, ketika sang pengembara terbaik setelah Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash Sshiddiq senantiasa berdoa,
“Ya Allah, jadikan dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar