Keluarga dakwah - Sering kita dengar bahwa salah satu hal yang bisa melanggengkan sebuah pernikahan adalah ketika sepasang suami istri saling menerima kelemahan masing-masing dan berusaha untuk saling melengkapi. Namun kenyataan tidaklah semudah teori, nyatanya masih banyak pasangan yang sulit untuk tidak saling menyalahkan serta mengungkit kelemahan pasangannya.
Ketika sudah mulai tergoda untuk saling menyalahkan, ada baiknya pasangan suami istri mengingat dan merenung kembali bahwa orientasi pernikahan mereka tidak lain tidak bukan untuk meraih kecintaan dan rahmat dari Allah SWT.
Mulailah merenung kembali bahwa pada hakikatnya manusia memang makhluk yang lemah, jika seorang fakir lemah dari sisi materi, maka orang kaya bisa jadi lemah dari sisi kesehatan ataupun imannya. Keberadaan manusia tanpa kelemahan adalah sebuah kemustahilan, karena manusia sendiri diciptakan dalam keadaan lemah dan akan kembali dalam keadaan lemah pula.
Allah SWT telah berfirman,
“dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (An Nisa :28)
Allah SWT mengisahkan manusia pertama Adam AS sebagai makhluk yang mempunyai kelemahan. Sebagaimana dalam firmannya surat Thaha ayat 115,
“Dan sesungguhnya telah kami perintahkan sebelumnya kepada Adam, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat.”
Adanya penyebutan kelemahan pada Adam AS ini menjadi isyarat bahwa anak cucunya pun pasti mempunyai kelemahan. Maka dari itu, wajar apabila dalam peristiwa mi’raj Musa AS memperingatkan Muhammad SAW bahwa pengikutnya yang penuh kelemahan itu tidak akan kuat menjalankan shalat lima puluh waktu.
“Hai Muhammad, demi Allah aku telah membujuk kaumku Bani Israil untuk melaksanakan yang lebih sedikit dari ini, namun emreka lemah kemudian meninggalkannya. Umatmu lebih lemah dari umatku, baik dari segi fisik, hati, penglihatan maupun pendengaran. Maka kembalilah, minta keringanan dari Rabbmu.” (HR Bukhari)
Rasulullah SAW sendiri terkadang memperingatkan beberapa sahabat mengenai kelemahan mereka. Beliau mengingatkan Abu Dzar RA agar jangan menjadi pemimpin atas dua orang serta jangan mencoba menjadi wali harta anak yatim. Beliau juga tak segan mengatakan bahwa Abu Bakar RA lemah ketika menarik timba air.
Artinya, kelemaha adalah suatu kepastian bagi manusia. Dan dalam Islam kelemahan bukanlah menjadi penyebab sebuah hukuman, justru menjadi penyebab sebuah keringanan. Allah SWT mengijinkan musafir menjamak shalat mengingat kelemahan kondisi fisiknya ketika melakukan perjalanan, Allah SWT mengijinkan wanita hamil dan lansia untuk tidak berpuasa karena kelemahan mereka.
Allah SWT berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah : 286)
Maka, jika Allah SWT saja memaklumi sebuah kelemahan, lantas apa alasan kita untuk tidak menerima dan memaklumi kelemahan pasangan kita?!
Posting Komentar