0
Qurrotu ‘Ain; Mesti Diupayakan
Anak, satu kata yang terdengar indah bagi setiap orang tua. Terlebih jika di belakangnya menyusul kata-kata positif semisal shaleh, pintar, cerdas, rajin, serta taat. Namun juga akan terdengar menyesakkan ketika tertaut kata-kata negative seperti nakal, bodoh, malas, ataupun pembangkang.

Dari berbagai sudut pandang keilmuan anak (baca:bayi) selalu didefinisikan sebagai sebuah awalan, kertas putih, atau dalam bahasa Al Qur’an disebut fitrah. Ketika terukir di atasnya coretan-coretan kebaikan, maka sang anak pun akan terbiasa dengan kebaikan (good habbit). Namun sebaliknya, ketika kertas tersebut penuh akan goresan keburukan, maka keburukan pun akan melekat sebagai perangainya.

كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, atau nashrani, atau majusi”

Hadits di atas sering dipahami hanya sebatas pada aqidah yang dianut seorang anak ketika dilahirkan, sehingga para orang tua (muslim) merasa sudah tenang ketika selesai memperdengarkan adzan dan mentahniq, seolah sudah selesai tanggung jawabnya dalam “mengislamkan” sang anak, padahal masih terdapat segudang tanggung jawab yang harus dipikul untuk mendidik sang anak.

Pendidikan anak dalam Islam bukanlah dimulai sejak kelahiran sang anak, juga bukan ketika sang anak mulai menjejakan kaki. Namun dimulai jauh sebelum benih dari sang ayah terpancar. Tepatnya dimulai ketika seorang akan memilih istri.

Rasulullah SAW memberikan empat poin (harta, kecantikan, nasab, agama) yang dimana beliau menekankan poin agama agar mendapat perhatian lebih ketimbang opsi lainnya. Begitu pula sebaliknya, Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada para wanita untuk lebih memilih pemuda yang sholih ketimbang pemuda yang kaya, karena memilih suami bukan atas dasar keshalehan adalah akhir dunia. Bagaimana seorang ayah yang tidak memahami aturan agama dapat mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah?

Tahapan selanjutnya adalah ketika air mani akan terpancar, Rasulullah SAW sudah mengajarkan doa untuk pasutri ketika akan melakukan hubungan suami istri.

بِسْــــمِ اللهِ اَللّهُـــمَّ جَانِبْـنَا الشَّيْــطَانَ وَ جَانِبِ الشَّيْــطَانَ مَا رَزَقْتَـنَا

“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari campur tangan Syaithan, dan jauhkanlah syaithan dari apa-apa yang engkau karuniakan kepada kami”

Dengan berdoa maka amalan tersebut akan bernilai ibadah. Jika sesuatu diawali dengan niat ibadah yang beorientasi rabbanii maka hasilnya akan berjalan pada sistem rabbani pula. Sebaliknya jika syaithan turut campur tangan menghembuskan nafsu hewani dalam amalan kita, maka hasilnya pun akan jauh dari kebaikan dan kasih sayang Allah SWT.

Itulah sedikit ajaran Islam tentang pengasuhan anak sebelum  kelahiran anak itu sendiri. Diharapkan ketika orang tua telah siap lahir batin menerima kehadiran buah hati. Maka anak bukan sekedar peramai suasana rumah, tapi juga menjadi qurrotu ‘ain (penyejuk  mata) dengan perilakunya yang berkesuaian dengan aturan-aturan Allah SWT.

Posting Komentar

 
Top