0
Puasa, Infaq dan Takwa
Jalinan Keluarga Dakwah - Puasa (shiyam) secara bahasa bisa bermakna imsak atau menahan, maka kata shoum yang tercantum dalam surat Maryam ayat 26 dimaknai sebagai perintah Allah SWT kepada Maryam untuk menahan diri dari berbicara kepada manusia. Adapun pengertiannya menurut istilah syar’i adalah menahan dari hal-hal tertentu (makan, minum, dan jimak) mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dan diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT.

Salah satu ayat yang menjadi landasan diwajibkannya puasa adalah surat Al Baqarah ayat 183,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Tiga Informasi Penting

Ayat tersebut setidaknya mengandung tiga informasi. Pertama, pada kalimat كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ menunjukkan mengenai wajibnya puasa bagi orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT. Para mufassirin berpendapat bahwa hal ini merupakan sebuah rangkaian perintah, yaitu setelah Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk menegakkan syariat qishash pada ayat 178, lalu tentang wasiat pada ayat 179, dan terakhir syariat puasa pada ayat 183.

Sejauh ini tidak ditemukan ikhtilaf di kalangan para ulama baik salaf maupun khalaf mengenai kewajiban puasa. Dan hal ini juga diperkuat oleh hadits,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Bersaksi bahwa tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa ramadhan.” (HR Bukhari)

Lalu yang kedua adalah pada kalimat كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mufassirin mengenai penafsiran kalimat tersebut. Setidaknya terdapat tiga penafsiran:



  • Bahwa terdapat persamaan antara syariat puasa kita dengan syariat puasa terhadap umat Musa AS dan Isa AS dalam hal waktu maupun kadarnya.

  • Bahwa persamaan hanyalah pada tataran hukumnya saja, bahwa puasa merupakan kewajiban, adapun mengenai waktu serta tata cara syariat puasa kita berbeda dengan syariat puasa umat-umat terdahulu.

  • Bahwa persamaan terdapat pada sifat ibadah puasa, di mana terdapat larangan untuk makan, minum, serta jimak.

Lalu yang ketiga, pada kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ yang menujukkan bahwa dengan berpuasa akan membuka harapan kita untuk menjadi pribadi yang bertakwa. Dalam Al Qur’an setidaknya terdapat enam ayat yang ditutup dengan kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ, dan keenam ayat berkaitan dengan perintah ibadah yang berbeda-beda. Maka dari surat Al Baqarah ayat 183 ini bisa disimpulkan bahwa puasa merupakan salah satu jalan bagi seorang mukmin untuk menjadi pribadi yang bertakwa.

Di samping itu, ketika seseorang sedang berpuasa biasanya kondisi tubuhnya akan melemah dikarenakan menahan makan dan minum selama satu hari, dan ketika kondisi tubuh melemah maka syahwatnya pun akan ikut melemah, dan ketika syahwat lemah maka berkuranglah keinginan seseorang untuk bermaksiat.  

Ciri-ciri Orang Bertakwa

Kembali kepada persoalan takwa. Salah satu ayat yang cukup gamblang menyebutkan ciri-ciri orang bertakwa adalah surat Al Baqarah ayat 3:

لَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Ada sebagian mufassirin yang menyatakan bahwa maksud ghaib di sini adalah Allah SWT, ada yang berpendapat qadha dan qadar, ada yang berpendapat Al Qur’an dengan segenap misteri yang terkandung di dalamnya, dan ada yang berpendapat segala sesuatu yang disampaikan Rasulullah SAW yang tidak dapat dimengerti oleh akal kita sepenuhnya, seperti tanda-tanda kiamat, siksa kubur, sirath, mizan, surga, dan neraka. Imam Muhammad Al Qurthubi dalam tafsirnya Al Jami’ Liahkamil Qur’an  menyatakan bahwa perbedaan tersebut sejatinya dapat disatukan karena apa yang mereka utarakan semuanya memang hal yang ghaib bagi manusia.

Lalu ciri selanjutnya adalah mendirikan shalat. Memang penafsiran para mufassir ternyata sangat luas dalam hal ini, namun secara umum pengertiannya adalah bahwa mendirikan shalat merupakan salah satu ciri orang bertakwa.

Lalu ciri yang ketiga adalah menginfakkan sebagian rezeki. Memang terjadi perbedaan di antara para mufassir mengenai kata infaq di sini, ada yang menafsirkannya sebagai zakat wajib, ada pula yang menafsirkannya sebagai sedekah sunnah, dan ada pula yang menafsirkannya secara umum yaitu segala bentuk pemberian harta kita kepada orang lain baik itu zakat maupun sedekah. Imam Muhammad Al Qurthubi cenderung kepada pendapat yang ketiga.

Hubungan Puasa dan Infaq

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa merupakan salah satu sarana seseorang menuju ketakwaan. Dan ciri orang yang bertakwa adalah beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, serta berinfaq. Maka bisa kita simpulkan bahwa di bulan Ramadhan kemudahan seseorang yang berpuasa untuk memperkuat ketiga hal tersebut sangat terbuka lebar. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits,

إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة ، وغلقت أبواب النار ، وصفدت الشياطين

“Jika datang bulan Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari)

Ketiga keistimewaan bulan Ramadhan tersebut tentu menjadi peluang emas bagi orang yang berpuasa untuk lebih giat dalam beramal shalih, khususnya infaq yang menjadi salah satu pilar takwa. Rasulullah SAW memberikan contoh yang sangat baik mengenai hal ini, sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas RA,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307)

Imam Ibnu Rajab dalam Lathaif Al-Ma’arif mengatakan bahwa makna kata al juud pada hadits di atas berarti rajin dan banyak memberi sedekah. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah SAW menjadi lebih rajin memberi sedekah di bulan Ramadhan.

Di samping sedekah, bulan Ramadhan juga menjadi waktu pelaksanaan syariat zakat fitrah. Karena ketika melaksanakan puasa, seseorang mungkin masih tergelincir pada beberapa kemungkaran kecil, maka zakat fitrah inilah yang akan menyucikan seseorang dari kemungkaran tersebut. Disebutkan dalam sebuah hadits, Ibnu Abbas RA berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan dari kata-kata kotor, juga untuk memberi makan kepada orang miskin.” (HR. Abu Daud)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa puasa Ramadhan hendaknya menjadi momen bagi seorang mukmin untuk lebih giat dalam beribadah khususnya sholat, dan lebih banyak beramal sholih khususnya infaq baik yang berupa sedekah ataupun zakat.

Dan seorang mukmin ketika hendak memberi sedekah ataupun menunaikan zakat hendaklah tidak melupakan kaidah bahwa setiap muslim itu bersaudara, tanpa memandang perbedaan fisik, warna kulit, keturunan, ras, serta ikatan-ikatan kebangsaan. Jadi siapapun yang membutuhkan bantuan, sejauh apapun tinggalnya, seasing apapun kepribadiannya, namun jika dia adalah seorang muslim, maka dia berhak mendapat bantuan darimu.     

Hingga pada akhirnya ramadhan ini akan membawa seseorang menjadi pribadi yang paling mulia di hadapan Allah SWT; pribadi yang paling bertakwa.

Posting Komentar

 
Top