Jalinan Keluarga Dakwah - Ada beberapa macam pernikahan yang dilarang dalam islam. Antara lain.
1. Larangan Melamar Wanita yang Sudah Dilamar
Dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
“Seorang mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Karena itu, tidak diperbolehkan bagi seorang mukmin menjual atas jualan saudaranya dan tidak boleh melamar atas lamaran saudaranya, sehingga pelamar itu meninggalkannya.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Di dalam kitab Fathul Baari, al-Hafizh menyebutkan, hujjah jumhur ulama bahwa yang dilarang adalah melamar atas lamaran, dan ia bukan merupakan syarat sahnya nikah sehingga ia tidak dapat membatalkan nikah. Dan wanita yang dilamar pun mempunyai hak untuk menolak lamaran setelah sebelumnya ia sempat menerimanya, demikian pula dengan walinya. Sebagaimana pelamar juga mempunyai hak untuk menarik lamarannya jika ia mendapatkan sesuatu yang tidak ia kehendaki.
2. Larangan Nikah Syighar
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah melarang nikah syighar. Dan yang dimaksud nikah syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuanya dengan laki-laki dengan syarat laki-laki itu harus menikahkan anak perempuannya dengannya. Dan antara keduanya tidak terdapat maskawin.” (Muttafaqun Alaih)
Syafi’i mengatakan, “Jika disebutkan mahar bagi keduanya atau bagi salah satu dari keduanya, maka yang demikian itu tetap sah, sedangkan maharnya batal. Dan bagi tiap-tiap dari keduanya mendapatkan mahar mitsil.
3. Larangan Nikah Mut’ah
Ibnu Hazm menyebutkan, “Nikah mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan dilarang dalam agama.”
Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah saw, namun kemudian Allah ta’ala menghapuskannya melalui lisan Nabi-Nya untuk selamanya. Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata,
“Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan juga daging keledai piaraan pada masa perang Khaibar.” (Muttafaqun Alaih).
4. Larangan Nikah Muhalil
Jika seorang wanita yang sudah ditalak tigak oleh suaminya, maka suaminya itu tidak dapat menikahinya kembali kecuali setelah ada laki-laki lain yang menikahi istrinya tersebut. Oleh karena itu, si suami menyuruh orang lain untuk menikahi istrinya yang telah ditalak tiga dengan tujuan agar ia dapat menikahinya kembali. Itulah yang disebut nikah muhalil dan itu sama sekali tidak diperbolehkan.
Dari Ibnu Mas’ud ra, dari Nabi saw, beliau melaknat muhalil dan muhalal lahu. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ad-Darimi).
5. Larangan Melamar Wanita yang Sedang Menjalani Masa Iddah
Yang dimaksud dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah itu ada tiga macam:
Pertama, wanita yang menjalani iddah karena ditinggal mati suaminya.
Kedua, menjalani iddah karena dijatuhi talak tiga oleh suaminya.
Ketiga, menjalani iddah karena batalnya pernikahan disebabkan adanya suatu hal yang mengharamkan pernikahan mereka. Misalnya, satu susuan atau terjadinya li’an, dan lain-lain yang menyebabkan seorang wanita tidak boleh dinikahi seorang laki-laki.
Tidak seorang pun dibolehkan melamar wanita yang sedang menjalani iddah, baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya. Jika ada seorang yang menikahinya sebelum masa iddahnya selesai, maka nikahnya dianggap tidak sah, baik sudah bercampur maupun belum. Selain itu tidak ada hak waris di antara keduanya dan tidak ada kewajiban memberi nafkah serta mahar.
Namun, diperbolehkan melamar dengan cara sindiran, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 235.
Adapun wanita yang dijatuhi talak raj’i, maka tidak diperbolehkan bagi seorang pun melamar dengan cara sindirian maupun terang-terangan, karena ia masih berada dalam wilayah hukum suami istri.
Untuk wanita yang dijatuhi talak ba’in, yang suaminya dibolehkan menikahinya kembali seperti misalnya wanita yang melakukan khulu’ dan wanita yang ditalak ba’in dengan cara dibatalkan karena ditinggalkan terlalu lama atau karena suaminya tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Maka pada saat itu si suaminya itu boleh melamarnya dengan terang-terangan maupun dengan sindiran, karena ia boleh menikahinya pada saat menjalani iddahnya tersebut, maka si istri baginya sama dengan wanita yang tidak sedang menjalani iddah.
Sumber: Diringkas dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 140 – 155.
Posting Komentar