Keluarga Dakwah - Tidak ada larangan bagi istri untuk menerima tamu laki-laki saat suaminya tidak di rumah selama tidak terjadi khalwat atau fitnah di dalamnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah pergi bersama Abu Bakar dan Umar mengunjungi kebun Abu Haitsam, namun mereka tidak mendapatinya dan kedatangan mereka justru disambut oleh istri Abu Haitsam.
Dalam jalur riwayat lain dikisahkan bahwa Rasulullah keluar bersama Abu Bakar dan Umar lantaran lapar, kemudian mereka mendatangi salah satu sahabat anshar namun ia tidak ada di rumah karena sedang mengambil air untuk keluarganya. Dan akhirnya kedatangan mereka disambut oleh istrinya sampai suaminya datang. [Imam An-Nawâwi, Shahih Al-Bukari, hadits 2642]
Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa hadits ini mengajarkan bagaimana cara memuliakan tamu. Dengan menyambut dan mengucapkan, “Selamat datang,” menampakkan kebahagiaan dengan kedatangannya serta memperlakukan mereka sebagai bagian dari keluarga sendiri. Riwayat di atas juga menjelaskan bolehnya mendengar suara wanita asing serta mengulangi percakapan dengannya karena sebuah kebutuhan dan seorang istri boleh memberi izin kepada laki-laki asing masuk ke rumah suaminya asalkan laki-laki asing tersebut sudah dipastikan tidak berkhalwat atau terjadi fitnah.
Selain itu, setidaknya ada orang ketiga bersama tamu laki-laki tersebut atau bersama sang istri untuk menghilangkan fitnah khalwat. Baik orang ketiga itu laki-laki atau perempuan, dan disyaratkan ia sudah baligh dan berakal. Beliau juga menjelaskan bahwa laki-laki asing yang berduaan dengan perempuan asing tanpa ada orang ketiga maka para ulama telah bermufakat atas keharamannya. Begitu juga bila yang bersamanya adalah orang yang belum memiliki rasa malu, yaitu anak-anak, maka keberadaannya tidak dianggap. [Ibnu Hajar, Fathul Bâri, syarah hadits 2642]
Setelah Mendapatkan Izin
Dalam haji Wada’ Rasulullah berpesan, “Bertakwalah kepada Allah terkait hak istri-istri kalian. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan kalian halal berhubungan dengan mereka karena Allah halalkan melalui akad. Hak kalian yang menjadi kewajiban mereka, mereka tidak boleh memasukkan lelaki di rumah. Jika mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sementara mereka punya hak (yaitu) disediakan makanan dan pakaian dengan cara yang wajar, yang menjadi kewajiban kalian.” (HR. Muslim)
Dalam kitab al-Musu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan, hak suami yang menjadi kewajiban istri adalah tidak boleh mengizinkan seorang pun masuk rumah kecuali atas izin suaminya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah dalam riwayat Abu Hurairah, “Tidak halal bagi wanita untuk puasa sunah, sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suaminya. Dan istri tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Hajar menukil keterangan dari Imam An-Nawawi mengenai hadits ini, bahwa dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat, seorang istri tidak boleh memutuskan sendiri dalam memberi izin masuk rumah melainkan atas izin suami. Dan ini untuk kasus yang dia tidak tahu apakah suami ridha ataukah tidak. Apabila dia yakin suami ridha dengan keputusannya maka tidak menjadi masalah baginya. [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 30/125]
Kesimpulannya,
Seorang istri boleh menerima tamu laki-laki ketika suami tidak ada di rumah dengan syarat; pertama, tamu tersebut sudah dipastikan tidak menyebabkan terjadinya khalwat dan fitnah. Kedua, hendaknya ada orang ketiga (dewasa), sehingga dengan adanya orang ketiga tersebut mencegah terjadinya khalwat atau fitnah. Ketiga, seyogiyanya istri terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya tentang tamu laki-laki yang datang ke rumah, baik izin secara langsung maupun telah dimusyawarahkan sebelumnya. Wallahu a’lam
Posting Komentar