Keluarga Dakwah - Hal ini hanya terjadi jika wali seorang wanita adalah anak laki-lakinya paman dari jalur bapak dan dia ingin menikahinya, maka hal tersebut tidak masalah jika dia mau menerimanya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Seorang wali dari wanita yang dia boleh menikahinya adalah anak laki-laki dari paman jalur bapaknya, tuannya, hakim atau penguasa dengan syarat jika wanita tersebut mau menikah dengannya, maka silahkan saja”. (Al Mughni: 7/360)
Dalam kondisi seperti itu maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri dan wanita tersebut karena dia sebagai walinya dengan mengatakan: “Saya telah menikah dengan anda” atau “saya menikahkan diri sendiri dengan fulanah” atau dengan ungkapan lain yang serupa. Dan tidak membutuhkan jawaban: “Saya terima”; karena seorang wanita tidak berhak terlibat langsung dalam akad nikah tidak untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, namun walinya yang mengakadkan.
Wali tersebut juga boleh mewakilkan perwaliannya kepada seseorang, baik wakil tersebut sebagai penghulu atau tidak. Maka wakil tersebut mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan fulanah”, sedangkan dia (wali aslinya) menjawab: “Ya, saya terima”. Maka dengan ini akad nikah dianggap sah. Kedua opsi tersebut pernah dilakukan oleh para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-.
Imam Bukhori –rahimahullah- berkata:
“Bab Jika seorang wali menjadi mempelai laki-lakinya, Mughirah bin Syu’bah telah menikahi seorang wanita, yang dia sendiri adalah orang yang paling berhak atas wanita tersebut (sebagai walinya). Maka dia menyuruh seseorang untuk menikahkan dengannya”
Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qaridz: “Apakah anda menyerahkan urusan anda kepada saya ?, dia berkata: “Ya”. Dia menjawab: “Berarti saya telah menikahi anda”.
‘Atha’ berkata: “Agar disaksikan bahwa saya telah menikahi anda atau agar salah seorang dari kerabat anda diminta (untuk menikahkan)”.
(Al Baani menshahihkan riwayat Mughirah bin Syu’bah dan Abdurrahman bin Auf –radhiyallahu ‘ahuma- dalam Irwa’ul Gholil: 1854-1855)
Namun sebagian ulama berpendapat, Ia tidak boleh mewakili dua pihak sekaligus, tetapi ia harus mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan dirinya dengan wanita tersebut dengan izinnya.
Sumber: Diringkas dari Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar).
Posting Komentar