Keluarga Dakwah - Janganlah seorang istri membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [Ath-Thalaq: 7]
Oleh karena itu bersikap qanaahlah terhadap rizki yang Allah karuniakan melalui kerja si suami.
Istri yang shalihah nan baik adalah istri yang menerima pemberian suaminya, seberapapun itu. Tentu jika si suami sudah berusaha untuk mencari nafkah sesuai dengan kemampuannya. Karena yang membagi rizki itu Allah, dan kita yakin bahwa Allah memberikan rizki berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya. Dia melapangkan rizki sebagian hamba yang dikehendaki-Nya, dan menyempitkan rizki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya pula. Masing-masing ada kebaikan dan kemaslahatan bagi si hamba.
Dua Sikap yang Berbeda
Diriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dia berkata, “Hasan Al-Bashri bercerita, ‘Ketika di Mekah, aku mendatangi seorang pedagang kain untuk membeli baju, lalu si pedagang mulai memuji-muji dagangannya dan bersumpah. Akupun kemudian meninggalkannya dan aku katakan kepada diriku sendiri, ‘Tidak pantas membeli dari orang semacam ini.’ Maka akupun membeli dari pedagang yang lain.”
Setelah berlalu dua tahun sejak kejadian itu, aku melaksanakan ibadah haji. Aku bertemu lagi dengan orang –pedagang kain yang suka bersumpah- itu, tapi aku tidak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya dan bersumpah. Aku pun bertanya kepadanya, “Bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun yang lalu?” Ia menjawab, “Iya, benar.” Aku bertanya lagi, “Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”
Ia pun bercerita, “Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizki, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizki yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata, “Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (baik lagi halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeki, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak dapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain).”
Kisah yang disebutkan oleh Abu Bakar Ahmad bin Marwan dalam kitab al-Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm (5/251-2522). Ada pelajaran yang bisa kita ambil, sikap dua istri yang berbeda di atas berpotensi untuk merusak atau memperbaiki kinerja suami. Maka, berhati-hatilah wahai para istri, jika engkau terlalu menuntut suamimu dengan hal-hal yang berlebihan. Cukupkanlah diri dengan yang halal dan baik. Karena ukuran rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.
Posting Komentar