Keluarga Dakwah - Hukum Menghadirkan Saksi dalam Akad Nikah
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda,
“Wanita-wanita pelacur adalah yang menikahkan dirinya sendiri tanpa ada saksi.” (HR. Tirmidzi)
Dari Imran bin Hushain, dari Nabi saw, beliau bersabda
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.“
Syarat untuk saksi nikah: Berakal, baligh, bisa mendengar ucapan orang yang melakukan akad, dan memahami maksud dari ucapan akad nikah. Karena itu, jika yang menajdi saksi nikah adalah anak kecil, orang gila, orang tuli, atau orang mabuk, maka nikahnya tidak sah. Karena keberadaan mereka di tempat akad nikah tidak teranggap.
Dalam kitab ar-Raudhah disebutkan, “Hadits-hadits yang membahas masalah saksi ini meskipun semuanya dhaif, namun sebagian memperkuat sebagian lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai dalil.”
Tirmidzi mengemukakan, “Para ulama dari kalangan para sahabat, para tabi’in dan yang lainnya telah mengamalkan hal tersebut.” Mereka berkata, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan persaksian.” Tidak ada yang berbeda pendapat mengenai hal itu kecuali beberapa ulama dari kalangan muta’akhirin. Para ulama itu berbeda pendapat sekitar masalah jika pernikahan itu disaksikan satu demi satu (tidak berbarengan). Maka mayoritas ulama Kufah dan juga yang lainnya mengungkapkan, “Pernikahan itu tidak dibolehkan sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara berbarengan pada saat akad nikah.”
Apakah disyaratkan harus Adil?
Yang dimaksud muslim yang adil adalah muslim yang menjalankan kewajiban dan tidak melakukan dosa besar atau kebohongan.
Pertama, Hanafiyah berpendapat bahwa sifat adil untuk saksi, bukan syarat. Pernikahan hukumnya sah, meskipun dengan saksi dua orang fasik. Setiap orang yang layak menjadi wali nikah, maka dia layak menjadi saksi. Karena maksud utama adanya saksi adalah pengumuman adanya pernikahan.
Kedua, Syafi’iyah dan mayoritas ulama berpendapat bahwa saksi dalam urusan manusia harus adil. Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali (wanita) dan dua saksi yang adil.” (HR. At-Thabrani dalam al-Ausath, Ad-Daruquhni, dan dishahihkan al-Albani).
Selanjutnya Sayid Sabiq menyimpulkan,
Pendapat Hanafiyah lebih kuat. Karena pernikahan berlangsung di masyarakat, di desa, kampung, sementara tidak diketahui status keadilan mereka. Tidak ada jaminan mereka telah lepas dari dosa besar. Sehingga, mempersyaratkan saksi nikah harus orang yang adil, akan sangat memberatkan. Karena itu, cukup dengan melihat penilaian umum pada saksi, tanpa harus mengetahui detail apakah dia pernah melakukan dosa besar atau tidak.
Kemudian, jika ternyata setelah akad diketahui bahwa ternyata saksi adalah orang fasik, ini tidak mempengaruhi keabsahan akad. Karena penilaian sifat adil dilihat pada keumuman sikapnya, bahwa dirinya bukan orang fasik. Meskipun setelah itu diketahui dia melakukan dosa besar (Fiqhus Sunnah, 2:58).
Sumber: Diringkas dari Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar).
Posting Komentar