Keluarga Dakwah - Akad nikah yang dilakukan sebelum masa iddah berakhir adalah batil, kedua mempelai wajib dipisahkan, kemudian harus menyempurnakan masa iddah dari suami yang pertama.
Disebutkan dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah (29/346) :
“Para ahli fikih bersepakat bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk menikahi wanita yang masih berada pada masa iddah dengan semua penyebabnya, karena dicerai, atau karena suaminya meninggal dunia, atau karena dipisahkan atau karena adanya syubhat, baik talak yang masih bisa rujuk (raj’iy) atau talak tidak bisa rujuk (bain), baik bain sugro maupun bain kubro. Yang demikian itu untuk menjaga percampuran nasab satu sama lain, menjaga hak dari suami sebelumnya. Jika akad nikah dilakukan pada masa iddah maka solusinya wajib dipisahkan kedua mempelai tersebut, mereka berhujjah dengan firman Allah –Ta’ala-:
( ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله )
“Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya”. (QS. Al Baqarah: 235)
Maksud dari ayat di atas adalah sempurnanya masa iddah, yaitu; jangan pernah mempunyai keinginan untuk menikahinya selama masa iddah atau janganlah mengadakan akad nikah sampai masa iddah yang telah ditetapkan oleh Allah berlalu.
Di dalam al Muwatha’ disebutkan: Bahwa Thulaihah al Asadiyah sebelumnya adalah istri dari Rasyid ats Tsaqafi lalu dia menceraikannya, kemudian dia menikah pada masa iddahnya, maka Umar bin Khattab memukulnya dan memukul suaminya dengan pukulan kasih sayang dan beliau memisahkan antara keduanya. Kemudian Umar berkata:
“Wanita manapun yang menikah pada masa iddahnya, maka jika yang menikahinya belum mensetubuhinya maka keduanya harus dipisah, kemudian dia melanjutkan masa iddahnya dari suami sebelumnya, lalu jika dia masih mau maka dia boleh menjadi peminang kembali, dan jika dia telah mensetubuhinya maka wajib dipisahkan kemudian dia melanjutkan masa iddahnya dari suami pertamanya, kemudian dia menjalani masa iddahnya dari suami keduanya kemudian dia tidak boleh menikahinya lagi selamanya”.
Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- di atas mempunyai arti bahwa jika dia menikah sebelum selesainya masa iddahnya, maka dia berada di antara dua hal:
Pertama: Melaksanakan akad nikah namun belum bersetubuh: Wajib dipisahkan, menyempurnakan masa iddahnya, dan bagi suami yang kedua (baru) boleh menikahinya.
Kedua: Melaksanakan akad nikah dan sudah bersetubuh, maka wajib pula dipisahkan, lalu dia menyelesaikan masa iddahnya dari suami pertamanya, lalu melanjutkan masa iddah dari suami yang kedua, dan diharamkan baginya untuk menikahinya lagi selamanya, pendapat ini adalah madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat Hanabilah, sedangkan menurut jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mereka berpendapat bahwa bagi suami yang kedua (baru) masih boleh menikahinya lagi setelah masa iddahnya berlalu”.
Namun Hanabilah menambahkan dan berkata: “Tidak boleh menikahinya lagi kecuali setelah berlalunya kedua masa iddah, iddah dari suami sebelumnya dan iddah dari suami keduanya”.
Pendapat yang kuat adalah jika pihak wanita telah menyempurnakan masa iddahnya dari suami sebelumnya, maka dibolehkan bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan tidak membutuhkan masa iddah darinya. (Asy Syarhul Mumti’: 13/387)
Wallahu A’lam
Posting Komentar