Keluarga Dakwah - Mengabaikan hak-hak istri, meninggalkan istri dalam jangka waktu yang lama dengan tidak mendekati dan menyentuhnya, tidak diragukan lagi hal itu bentuk kedzaliman kepada istri.
Yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya adalah mempergaulinya dengan baik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (سوة النساء: 19
“Dan pergaulilah mereka secara patut.” (QS An Nisa: 19)
Di antara bentuk mempergauli secara baik salah satunya adalah berjimak. Hal itu wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya sesuai kadar kecukupannya. Jumhur Ulama telah menentukan batas waktu bahwa seorang suami tidak halal meninggalkan jimak selama lebih dari empat bulan. Sebenarnya hal tersebut tidak dibatasi dengan ketentuan waktu, bahkan wajib atas suami menyetubuhinya sampai istri merasa cukup untuk itu, selama jimak tersebut tidak membahayakan badannya atau menyibukkannya dari pekerjaannya.
Akan tetapi banyak para suami melalaikan hak istri dalam hal ini, yaitu masalah jimak dan menyalurkan hasrat biologisnya. Kebanyakan itu semua berkembang karena acuh tak acuh atau masa bodoh dengan kondisi istri itu sendiri atau perbedaan intensitas kebutuhannya dengan para suami. Keterbukaan, keterus-terangan, berupaya untuk memberikan terapi dan membaca buku-buku khusus tentang masalah ini, sangat memiliki peranan yang besar dalam memperbaiki – insya Allah – .
Haram hukumnya seorang perempuan atau istri melakukan masturbasi dengan tangan atau yang lainnya. Karena sesungguhnya seorang istri yang sudah terbiasa melakukan masturbasi maka dia akan mengenyampingkan suaminya secara total bahkan setelah itu dia tidak lagi punya hasrat atau keinginan untuk melakukan jimak.
Kalau memang dipastikan bahwa suami tidak mempunyai syahwat, maka suami bisa memaksakan dirinya untuk melakukan jimak demi berupaya memenuhi hak dan menyalurkan hasrat istri, serta menginginkan keturunan yang shalih. Hal inilah yang dilakukan oleh suami yang shalih pada kondisi dia tidak sedang berselera jimak, sebagaimana ungkapan Umar Radliyallahu Anhu :
وَاللَّهِ إِنِّي لأُكْرِهُ نَفْسِى عَلَى الْجِمَاعِ رَجَاءَ أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنِّى نَسَمَةً تُسَبِّحُ
“Demi Allah sesungguhnya aku akan memaksa diriku untuk melakukan jima guna mengharap semoga Allah menurunkan dariku keturunan yang senantiasa bertasbih.” (HR. Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 7/79).
Kemudian sesungguhnya dibolehkan bagi suami untuk menyalurkan syahwat istri dengan perantara tangannya jika memang suami sedang tidak menginginkannya., dan dalil akan hal tersebut firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (سورة المؤمنون: 5-6
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS Al Mukminun : 5-6)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:
ﻭﻫﻮ ﺍﺳﺘﺨﺮﺍﺝ ﺍﻟﻤﻨﻲ ﺑﻐﻴﺮ ﺟﻤﺎﻉ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻛﺈﺧﺮﺍﺝ ﺑﻴﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﺒﺎﺣﺎ ﻛﺈﺧﺮﺍﺟﻪ ﺑﻴﺪ ﺣﻠﻴﻠﺘﻪ .
“Istimna’ (masturbasi/onani) adalah mengeluarkan mani dengan cara selain jimak. Hukumnya haram jika dikeluarkan dengan tangan sendiri. Mubah (boleh) jika dengan tangan istrinya.” (Tuhfatul Muhtaj 13/350, Asy-Syamilah).
Maka upaya-upaya yang halal masih sangat banyak. Tidak boleh memilih apalagi beralih kepada perilaku yang haram selama masih sangat banyak jalan yang halal. Oleh sebab itu haruslah mengutamakan keterbukaan. Si istri berhak menuntut perceraian jika memang suami masih tetap pada prinsipnya (tidak menjimak).
Wallahu A’lam..
Posting Komentar