Keluarga Dakwah - Pentingnya Mengajak Anak Kecil Berpuasa
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz; dia berkata, “Rasulullah mengutus untuk mengumumkan pada pagi hari asyura’ di wilayah kaum Anshar yang berada di sekitar kota Madinah.
من كان أصبح صائما فليتمّ صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتمّ بقية يومه
‘Barang siapa yang pagi hari ini berpuasa, hendaklah menyelesaikannya. Barang siapa yang tidak berpuasa, hendaknya menahan (makan dan minum) sampai malam.’
Setelah adanya pengumuman itu, kami berpuasa dan mengajak anak-anak untuk melaksanakan puasa. Kami juga mengajak mereka ke masjid dan memberikan mereka mainan dari kulit (wol). Jika mereka menangis karena lapar, kami menyodorkan mainan sampai waktu berbuka puasa tiba.” (HR Bukhari dan Muslim)
Di antara pelajaran yang bisa diambil dari riwayat di atas adalah:
1. Para sahabat sangat perhatian untuk mengajak dan mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa.
Ini jelas terlihat pada strategi mereka membuat mainan dan mengalihkan perhatian anak-anak mereka dari keinginan untuk makan, sehingga puasa mereka tuntas dan sempurna.
2. Anak-anak yang diperintah berpuasa oleh para shahabat adalah anak-anak yang masih dalam usia kanak-kanak.
Hal ini dipertegas oleh ucapan Rubayyi’ binti Mu’awwidz, “Kami mengharuskamn anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa.” Juga ucapan Rubayyi’, “Maka kami membuat sebuah mainan dari kulit untuk mereka. Jika salah satu dari mereka menangis karena merasa lapar, kami menyodorkan mainan kepadanya.” Ini tentunya dilakukan kepada anak yang masih berusia kanak-kanak, tidak dilakukan kepada anak yang sudah besar.
3. Bersikap hikmah dan cerdas saat beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap anak-anak.
Termasuk pelajaran yang bisa diambil di sini adalah tindakan para shahabat membuatkan mainan untuk anak-anak mereka –saat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua mengambil contoh dari tindakan para shahabat tersebut, serta menerapkannya dalam melakukan amar ma’ruf kepada anak-anak mereka.
4. Para shahabat sangat perhatian untuk mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa ‘asyura.
Bagaimana perhatian mereka terhadap puasa Ramadhan setelah diperintahkan? Untuk mengetahuinya, mari kita cermati ucapan Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu terhadap peminum khamr yang dihadapkan kepadanya pada bulan Ramadhan, “Celaka kamu! Anak-anak kami yang masih kecil saja berpuasa.” Kemudian beliau memukulnya. (Shahih Al-Bukhari, no. 1690)
5. Salah satu puasa yang dilakukan anak-anak para shahabat adalah puasa ‘asyura.
6. Disyariatkan untuk melatih anak-anak berpuasa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dalam hadits ini terdapat hujjah (dalil) tentang disyariatkannya pembiasaan bagi anak-anak yang berada dalam usia yang disebutkan dalam hadits, masih belum mukallaf (terkena beban hukum). Mereka melakukannya sebagai ajang latihan.” (Fathul Bari, 4:201; lihat ‘Umdatul Qari, 11:70; Nailul Authar, 4:273)
Ibnu Qudamah menjelaskan perkataan Imam Al-Khiraqi, “Kalau anak berumur sepuluh tahun dan sudah mampu berpuasa maka ia harus diperintakan untuk melakukannya.” Beliau mengatakan, “Artinya, sang anak diharuskan berpuasa dan dipukul bila meninggalkannya. Hal ini ditujukan sebagai pembiasaan dan latihan, sebagaimana dia perintahkan shalat dan disuruh melakukannya (sejak usia dini).”
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Atha, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Qatadah, dan Asy-Syafi’i.
7. Perintah kepada anak tidak hanya untuk mengerjakan shalat dan puasa.
Terbukti, para shahabat dahulu sangat antusias untuk mengikutsertakan anak-anak mereka dalam ketaatan serta melatih dan membiasakan mereka dalam ketaatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Sa’d dan lainnya meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Abbas; beliau berkata, “Tanyailah aku tentang tafsir, sesungguhnya aku telah menghafal Alquran pada usia dini.” (Fathul Bari, 9:84)
Ringkasnya, anak-anak diperintahkan untuk mengerjakan amal ketaatan supaya mereka terbiasa dan bersimpati sebelum menginjak usia baligh. Dengan demikian, mereka akan mudah melaksanakannya saat berusia baligh.
Disarikan dari buku Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), hlm. 58—66, karya Dr. Fadhl Ilahi, Cetakan Kedua (Mei 2006), Darus Sunnah Press, Jakarta Timur. (muslimah.or.id)
Posting Komentar