Keluarga Dakwah - Talak saat takut tidak dapat menegakkan aturan-aturan Allâh
Dikarenakan istri merasa tersakiti oleh suaminya, lantaran ia mendapati dari diri suaminya sesuatu yang menyakitinya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan atau karena mustahil ia dapat hidup bersabar dengan suaminya tersebut.
Secara konkret, di antaranya, suami mengabaikan cara muamalah yang baik dengan istri, ia cuek untuk berbuat baik kepadanya. Atau sang istri menyaksikan suaminya hanyut dalam perbuatan fâhisyah (zina) dan melakukan kemungkaran-kemungkaran, atau mendesak sang istri untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban, atau merusak keshalehan istri dengan mengajaknya melihat dosa-dosa besar yang diperbuat, atau berusaha keras untuk menyakiti istri dengan berbagai macam cara yang menyakitkan, lalu sang istri kuatir akan dosa nusyûz (membangkang suami) bila tetap mempertahankan rumah tangga dengan suaminya itu. Akibatnya, sang istri tidak mampu bertahan untuk bergaul dengan suaminya dalam bentuk apapun dan menolak dekat dengannya sedikit pun. Dalam keadaan ini, disyariatkan bagi suami untuk memberi istrinya hak khulu’, dengan menebus dirinya dengan sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Ketentuan itu diisyaratkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Jika kamu kuatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allâh, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allâh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. [Al-Baqarah/2:229]
Ayat di atas dengan mafhumnya menunjukkan bahwa keduanya bila menegakkan hukum-hukum Allah dalam hidup rumah tangga mereka, maka si lelaki tidak boleh menuntut istrinya untuk khulu’ (gugat cerai) dengan meminta dan mengambil dari istri sesuatu yang ia setujui. Dan sang istri pun tidak boleh untuk berpikir untuk mengajukan khulu’ kepada suaminya. Sebab, dalam tindakan ini akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan rumah tangga mereka berdua dan anak-anak mereka bila sudah memiliki keturunan. Dan situasi demikian, tindakan ini termasuk melanggar aturan-aturan Allâh Azza wa Jalla .
Didaptasi dari al-Mausû’atu al-Fiqhiyyatu al-Muyassaratu fii Fiqhil Kitâbi was Sunnatil Muthahharah, Husain al-‘Awayisyah Dar Ibni Hazm Cet. I,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar