Keluarga Dakwah - Suami atau istri yang mendapati adanya aib pada pasangannya, dibolehkan mengajukan fasakh atau membatalkan akad pernikahan.
Disyariatkan fasakh berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Imam Al-Kasani memberi penjelasan pada ayat di atas bahwa tetap dalam akad pernikahan namun akan mendatangkan mudarat (baik karena aib atau lainnya) yang dapat merusak tujuan pernikahan bukan termasuk maksud dari perintah Allah untuk menahan secara makruf.
Imam Ahmad menyebutkan sebuah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah menikahi seorang perempuan Bani Ghifar, tatkala beliau masuk menemuinya maka terlihatlah putih (belang) di lambungnya lalu beliau membatalkan akad pernikahannya.
Definisi aib yang membatalkan akad pernikahan adalah cacat fisik maupun cacat mental yang secara ‘urf (adat/kebiasaan) dianggap sesuatu yang tercela, menghalangi untuk meraih tujuan pernikahan, dan menghalangi untuk mendapatkan kenikmatan kehidupan suami istri.
FASAKH, HAK KEDUA PASANGAN
Sebagian ulama berpendapat membatalkan akad pernikahan karena aib adalah hak seorang suami, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa suami dan istri sama-sama memiliki hak untuk membatalkan akad pernikahan ketika mendapati kecacatan pada pasangannya.
Berdasarkan keumuman dalil, pendapat kedua dinilai lebih rajih. Illat (alasan) pembatalan akad pernikahan karena aib adalah mudarat; padahal mudarat bisa menimpa istri maupun suami, oleh karena itu keduanya berhak untuk membatalkan akad pernikahan ketika mendapati aib pada pasangannya.
AIB PEMBATAL PERNIKAHAN
Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat, sebagian membatasi jenis aib pembatal akad pernikahan dan sebagian yang lain tidak membatasi.
Pendapat yang tidak membatasi dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan syar’i, karena akan sangat mungkin ada jenis-jenis aib yang belum pernah ada di zaman ulama, sedangkan mudarat yang ditimbulkan sama dengan aib yang ada pada zaman mereka.
Di antara aib yang disebutkan para ulama adalah: lemah zakar, zakar yang terpotong, dikebiri, memiliki dua kemaluan, kemaluan tertutup daging atau tulang, lubang kemaluan yang menyatu dengan lubang kencing atau lubang belakang, bau busuk pada kemaluan maupun mulut, luka dalam kemaluan yang mengeluarkan cairan atau darah, penyakit gila, kusta, keluar kotoran ketika berhubungan intim, dan ambeien akut.
Para ulama yang tidak membatasi aib pada jenis-jenis tertentu menyebutkan sebuah kaidah bahwa aib apa saja yang dapat menghalangi tercapainya tujuan akad pernikahan serta membuat salah satu atau mereka berdua benar-benar tidak ingin tinggal bersama maka aib tersebut dapat membatalkan akad pernikahan.
Seperti hari ini kita mengenal penyakit HIV, Kanker Rahim, Syphilis, Kencing Nanah, Herpes dan lain sebagainya. Selama penyakit tersebut merusak tujuan akad pernikahan maka dapat dikategorikan sebagai aib yang membatalkan akad perniakahan.
SYARAT AIB PEMBATAL PERNIKAHAN
Secara umum ada empat syarat bahwa aib dapat membatalkan akad pernikahan, pertama: aib tersebut sudah ada sebelum akad pernikahan berlangsung. Para ulama sepakat dalam hal ini, sebagaimana mereka juga sepakat bolehnya seseorang membatalkan akad pernikahan karena aib setelah akad dan sebelum melakukan hubungan intim.
Kedua, aib tidak diketahui (oleh pihak yang dirugikan) ketika akad pernikahan berlangsung. Apabila aib diketahui ketika akad pernikahan berlangsung maka pihak yang dirugikan tidak memiliki hak untuk membatalkan akad, sebab dengan demikian ia telah menyetujuinya. Para ulama mazhab sepakat dengan syarat ini.
Ketiga, tidak ada tanda-tanda kerelaan setelah mengetahui adanya aib pada pasangannya. Tanda-tanda kerelaan dapat diukur dengan ‘urf yang ada, contohnya tetap berhubungan intim atau ber-istimta’ meskipun telah mengetahui adanya aib pada pasangannya. Syarat ketiga ini juga disepakati oleh para ulama, Ibnu Qudamah mengatakan, “Tidak ada perselisihan dalam hal ini.”
Keempat, hendaknya aib tersebut bukan termasuk yang dapat dihilangkan atau disembuhkan. Adapun aib yang masih memungkinkan untuk disembuhkan maka tidak sah pembatalan akad pernikahan sampai pihak yang merasa dirugikan memberi waktu untuk memastikan apakah benar-benar termasuk yang dapat disembuhkan atau tidak.
Melalui empat syarat di atas seseorang dapat mengukur boleh dan tidaknya membatalkan akad pernikahan ketika mendapati aib pada pasangannya.
Apa yang telah disebutkan di atas adalah penjelasan secara singkat dalam masalah ini, tentunya masih menyisakan banyak persoalan yang perlu untuk dikaji secara mendetail dan mendalam. Wallahu a’lam. (Hujjah / Keluarga Dakwah)
Posting Komentar