Keluarga Dakwah - Status Gugatan Cerai Dari Istri
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Apa status gugatan cerai istri dan sudah ada surat akta perceraian dari lembaga peradilan? Jatuh pada thalaq berapa? Jazakumullah khoiron.
Wassalammualaikum wr.wb
Rahmatul Ummah (Lombok, NTB)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah wash shalah wassalam ala Rasulillah, amma ba’du..
Masalah yang saudara sebutkan adalah al khulu’ dalam ilmu fiqihnya. Al Khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami karena menyetujui atau memenuhi permintaan isterinya dengan cara seorang istri membayar tebusan.
Tebusan tersebut bisa berupa pengembalian maskawin atau yang lainnya yang diepakati oleh kedua belah pihak. Talak khulu ini diperbolehkan sekalipun isteri dalam keadaan haid.
Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat dalam beberapa pendapat: sebagaian ulama menyatakan bahwa al khulu’ adalah talak ba’in. Sebagaian mengatakan bahwa al khulu’ adalah talak raj’i. dan sebagiannya berpendapat bahwa al khulu’ bukanlah talak, tapi fasakh (pembatalan akad nikah). Dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang ketiga.
Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat.
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.
Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf dan Sa’id bin Manshur dengan sanad shahih)
Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
“Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah)
Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.
Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,
مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ
“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf)
Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’.
Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:
1. Suami lebih berhak diterima rujuknya.
2. Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
3. Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’.
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, asy-Syaukani, Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Abdurrahman as-Sa’di, serta Syekh al-Albani (alislamu / Keluarga Dakwah)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar