0


Keluarga Dakwah - Salah satu larangan bagi wanita haid adalah melakukan hubungan badan. Dengan jelas Allah berfirman yang artinya:

“Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Tradisi yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi adalah enggan bergaul kepada wanita yang sedang haid. Mereka diasingkan, dan mereka tidak boleh makan atau minum bersama orang-orang yang suci (tidak haid).

Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik, Rasulullah mengomentari apa yang mereka lakukan. Beliau bersabda,

“Lakukanlah apa saja (kepada wanita haid) kecuali nikah (hubungan badan).” (HR. Muslim)

Dua nash di atas cukup menjadi dalil bahwa umat Islam tidak memperlakukan wanita haid sebagaimana kaum Yahudi. Memang ada beberapa hukum yang harus dipatuhi bagi wanita haid, seputar ibadah dan seputar pergaulan. Islam tidak membatasi pergaulan terhadap wanita haid kecuali dalam hubungan suami istri, wanita haid tidak boleh berhubungan badan dengan suaminya. Hanya itu saja.

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh orang yang menggauli istrinya padahal sedang haid? Para ulama berbeda pendapat.

Pertama, wajib bertaubat dan beristighfar kepada Allah. Sebab dia telah melanggar larangan Allah. Akan tetapi dia tidak wajib membayar kafarah. Ini adalah salah satu pendapat mazhab Maliki. (Al-Musu’ah al-Fiqhiyah, 18/325, Dzatu As-Salasil, Cet. 2/1990 M.)

Kedua, wajib bertaubat, beristighfar, dan disunahkan baginya untuk membayar kafarah. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. (Ad-Dur al-Mukhtar, Abdurrahman al-Hanafi, 44, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet. 1/2002 M.)

Imam an-Nawawi berkata:

“Jika saat menggauli istri dirinya tahu bahwa istrinya sedang haid, dirinya pun tahu keharamannya, dan dia melakukannya secara suka rela (tidak dipaksa) maka ada dua pendapat dalam mazhab Syafi’i. Pendapat yang shahih (qaul jadid) adalah tidak wajib membayar kafarah, ia cukup beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Hanya saja, disunahkan untuk membayar kafarah sebagaimana dalam pendapat qaul qadim.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 2/390, Maktabatu al-Irsyad).

Ketiga, wajib bertaubat dan wajib membayar kafarah. Ini pendapat mazhab Hambali dan merupakan salah satu pendapat mazhab Syafi’i dalam qaul qadimnya. (Al-Inshaf, Sulaiman Al-Mardawi, 1/351, cet. 1/1955 M, as-Sunnah Muhammadiyyah.)

Berdalih dengan hadits yang dibawakan oleh Ibnu Abbas, tentang suami menggauli istrinya yang sedang haid, Nabi shallallahu ‘alai wa sallam bersabda yang artinya: “Bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Abu Dawud). Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama, baik dari sanadnya, matannya, dan dan dari tingkat keshahihannya.

Adapun pendapat yang rajih dan lebih berhati-hati adalah pendapat ketiga: wajib bertobat dan wajib membayar kafarah sebanyak satu dinar atau setengah dinar. Dengan demikian, seseorang akan lebih perhatian terhadap larangan-larangan Allah. Bilapun hadits di atas dinilai dha’if, maka akan menjadi hadits marfu’ yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. (https://islamqa.info/ar/answers/105642)

Syaikh Utsaimin berkata,

“Wajibnya membayar kafarah (dalam persoalan ini) adalah pendapat mazhab Hambali saja, tiga mazhab yang lain tidak mewajibkan kafarah meskipun sepakat bahwa mereka berdosa atas pelanggarannya. Dan hadits di atas derajatnya shahih, sebab terdiri dari perawi-perawi yang terpercaya.” (Syarhu al-Mumti’, Syaikh Utsaimin, 1/4141/255).

Berangkat dari penjelasan di atas, suami yang menggauli istri saat haid, padahal dia mengetahui bahwa istrinya haid, dia juga mengetahui bahwa menggauli istri saat haid adalah perbuatan yang diharamkan, maka dia wajib bertaubat kepada Allah, beristighfar, dan sebagai hukumannya ia wajib membayar kafarah sebanyak satu dinar atau setengah dinar.

Boleh memilih antara satu dinar atau setengah dinar. Satu dinar lebih sempurna daripada setengah dinar. Satu dinar setara dengan 4.25 gram emas. Boleh dibayarkan dalam bentuk mata uang masing-masing daerah dengan mengacu pada harga emas.

Imam al-Mardawi menambahkan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan menggauli adalah menggauli melalui farjinya, bukan mencumbui, dan bukan menggauli pada bagian yang lain. (Al-Inshaf, Sulaiman Al-Mardawi, 1/353).

Apabila istri melayani suami dengan suka rela, tidak atas paksaan, dan dia mengetahui bahwa dirinya masih dalam masa haid, serta mengetahui bahwa haram baginya digauli oleh suaminya, maka wajib baginya bertaubat, beristighfar, dan membayar kafarah sebagaimana suaminya. Demikian ini berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas di atas.

Perlu diperhatikan, suami yang tidak tahu bahwa istrinya sedang haid, atau tidak tahu tentang larangannya, atau lupa, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar kafarah. Kafarah diberikan kepada fakir miskin dalam bentuk sedekah dan diserahkan secepat mungkin. (Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, DR. Wahbah Az-Zuhaili, 1/630. Izalatu Al-Hairah fi Ahkami Al-Haid wal Mustahadzah wan Nifas, Ihab bin Kamal bin Ahmad, 44-45). Wallahu a’lam. [Arif Hidayat/hujjah.net]

Posting Komentar

 
Top