Keluarga Dakwah - Dalam kehidupan berumah tangga, tentu tidak lepas dari yang namanya ketidaksepahaman. Sebab di dalamnya terdapat dua manusia yang berbeda, mulai dari sisi gender, watak, perilaku, cara berfikir, tingkat emosional, dan sebagainya. Ketidak sepahaman tersebut sangat berpotensi pada terjadinya perselisihan.
Bila perselisihan itu semakin menjadi, timbullah ketidak cocokan yang berimbaskan pada pelanggaran terhadap hak atau kewajiban yang masing-masing harus menunaikannya; dalam Islam disebut dengan nusyuz.
Untuk menjaga tujuan agung pernikahan, Islam dengan berbagai caranya berupaya mencegah terjadinya nusyuz. Salah satunya adalah, Islam memerintahkan para suami untuk berbuat makruf kepada istri-istrinya, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Dan bergaullah kepada mereka secara makruf (patut).” (QS. An-Nisa’: 19)
Kata makruf dalam ayat di atas memiliki makna yang sangat luas dan tidak terpaku pada makna tertentu, sebab yang diinginkan dalam firman Allah tersebut adalah mengembalikan urusan muamalah terhadap istri kepada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di setiap daerah dan zamannya selama tidak keluar dari batasan syar’i.
Imam Al-Jashash mencoba menafsirkan ayat di atas, bahwa Allah memerintahkan kepada para suami untuk berbuat makruf kepada istri-istri mereka. Makruf dalam arti memenuhi hak mahar istri, memberi nafkah, memberi bagian yang adil, tidak berkata kasar dan menyinggung, tidak berpaling dan condong kepada wanita lain karena mengabaikan istri, tidak memerengutkan muka tanpa kesalahan yang jelas, dan lain sebagainya.
Saking agungnya perintah Allah ini, Nabi serukan dalam khutbahnya di Arafah; hari di mana kaum muslimin berkumpul dan tumpah ruah di sana, beliau berkata, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim: 1218)
Rasulullah juga bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi: 3895)
Jika ayat sebelumnya memerintahkan para suami untuk berbuat makruf kepada istri-istrinya, maka Allah juga memerintahkan bagi para istri untuk berbuat makruf kepada suaminya, sebagaimana firman Allah, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Perintah berbuat makruf dalam ayat yang pertama ditujukan untuk suami saja, sedangkan berbuat makruf dalam ayat ini ditujukan untuk keduanya; suami dan istri secara bersamaan.
Hal makruf yang dapat dilakukan para istri adalah menunaikan kewajibannya dengan mematuhi suami untuk mendapatkan ridha Allah, sehingga istri juga harus menegur dan meluruskan suami apabila tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, hal ini juga sebagai bentuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing.
Penjelasan di atas adalah upaya untuk mencegah terjadinya nusyuz dalam rumah tangga. Selain mencegah, Islam juga berupaya memberi solusi ketika telah terjadi nusyuz agar suami istri dapat memperbaiki ikatan yang sempat retak dan tidak terdorong pada perceraian.
Di dalam kitab al-Ilaj asy-Syar’i li al-Khilafat al-Zaujiyah karya Nuruddin Abu Lihyah disebutkan beberapa cara untuk mendapatkan solusi perkara ini, yaitu:
Pertama, dengan cara menumbuhkan kesadaran bagi suami-istri bahwa mereka bukan lagi anak-anak seperti dulu, tetapi mereka adalah seorang yang telah dibebani tanggung jawab syariat dan akan mendapatkan hukuman saat mengabaikan tanggung jawab tersebut.
Kedua, menumbuhkan kesadaran bahwa setiap orang memiliki watak dan kegemaran yang berbeda, sehingga masing-masing pasangan haruslah mengerti akan hal itu.
Ketiga, mendiskusikan sebab yang mendorong terjadinya nusyuz. Dengan cara ini, pasangan suami istri harus benar-benar memahami hakekat ridha, syukur, qana’ah, sabar terhadap ujian, dan saling memaafkan.
Keempat, memberi teguran. Teguran pertama adalah dengan nasehat yang disampaian secara tepat, teguran kedua adalah dengan mendiamkan (terutama dalam urusan ranjang), dan teguran yang ketiga adalah dengan memukulnya tanpa harus menyakiti pasangan; maknanya dengan pukulan kasih sayang demi mendapatkan kebaikannya.
Kelima, apabila setelah melakukan beberapa cara di atas dan belum cukup menyelesaikan masalah yang ada maka hendaknya mereka bawa persoalan ini kepada hakim, hakim-lah yang akan memutuskan dengan kebijakannya. Wallahu a’lam. [hujjah.net / Keluarga Dakwah)]
Posting Komentar