0


Keluarga Dakwah - Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan, janganlah ia mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya. Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, padahal suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ

“Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR . Abu Dawud no. 4177 dan at-Tirmidzi no. 2020, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil menurut syarat Muslim, dalam ash-Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata, “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka, maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua hal ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)

Adapun al-Qadhi rahimahullah mengatakan tentang hadits ini,

“Bisa jadi, karena mensyukuri Allah subhanahu wa ta’ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara itu, di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Orang yang tidak mematuhi Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya.

Bisa jadi pula, maknanya adalah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal tahu bahwa sifat manusia senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan. Orang yang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran.” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74)

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari azab Allah subhanahu wa ta’ala untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.


Posting Komentar

 
Top