0


Keluarga Dakwah - Hidup bersama suami atau istri dalam membina keluarga sampai maut memisahkan adalah impian setiap orang, namun ternyata kita sebagai hamba yang lemah tidak dapat menampik adanya persoalan rumah tangga, salah satunya adalah kepergian suami atau istri tanpa kabar yang jelas.

Terkait persoalan ini para ulama telah membahasnya secara panjang dan lebar dari berbagai sisi dan keadaannya, tetapi di sini kami akan menitiksoalkan hukum suami yang pergi selama bertahun-tahun meninggalkan anak dan istrinya, tidak menafkahi mereka, dan hilang tanpa kabar apa pun.

Kondisi seperti di atas, menimbulkan beberapa pertanyaan; berapa lama harus menunggu? Bolehkan istri mengajukan cerai kepada hakim dan menikah dengan laki-laki lain?

Pertanyaan yang semisal dengan di atas telah banyak dikaji oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Yang sejatinya, saat suami ditetapkan hilang maka tidak memberi pengaruh apa pun pada akad pernikahan, istri yang ditinggal tersebut masih tetap dalam akad pernikahannya, bahkan para ulama Fikih sepakat bahwa istri saat itu masih berhak mendapatkan nafkah dari harta sang suami.

Akan tetapi, sampai kapankah istri harus menunggu suami yang hilang tanpa kabar itu? Hanya ada satu dalil dari sunnah, yaitu sabda Nabi ﷺ yang artinya, “Wanita (yang) suaminya hilang maka ia adalah wanita (bagi) suaminya yang hilang sampai datang kepadanya kabar (kejelasan suaminya).” (HR. Ad-Daruquthni)

Dalil ini masih bersifat mujmal (global), sehingga datanglah penjelasan dari sahabat Ali yang mengatakan bahwa wanita yang suaminya hilang maka ia tetap dalam hak suaminya sampai datang kabar kematiannya atau penceraiannya.

Ibnu Mas’ud, an-Nakhai, Ibnu Qilabah, asy-Sya’bi, Jabir bin Zaid, Sufyan ats-Tsauri juga berpendapat demikian. Yang kemudian ini menjadi pendapat mazhab Hanafi dan Imam asy-Syafi’i dalam qaul jadid-nya.

Sedangkan menurut Umar bin Khathab wanita yang suaminya hilang hendaknya menanti selama empat tahun, kemudian melakukan iddah kematian. Apabila telah selesai masa iddahnya maka diperbolehkan baginya untuk menikah dengan laki-laki lain.

Utsman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ibnu Mas’ud dan Ali juga berpendapat demikian. Pendapat ini juga merupakan qaul qadim Imam asy-Syafi’i.

Mazhab Maliki memberikan beberapa perincian, yaitu wanita yang kehilangan suaminya di negeri kaum muslimin maka ia berhak menanti selama empat tahun dan setelah itu melaksanakan iddah kematian kemudian diperbolehkan menikah lagi. Sedangkan jika hilang di negeri musuh maka istri tidak boleh menikah dengan lakilaki lain kecuali telah sampai kepadanya kabar akan kematiannya atau telah mencapai umur yang sekiranya suaminya sudah meninggal dunia, yaitu kurang lebih pada umur ke-70. Dan masih ada perincian yang lain dalam mazhab Maliki.

Sedangkan menurut mazhab Hambali, jika hilangnya suami masih dalam kemungkinan selamat maka ikatan pernikahan masih tetap terjaga sampai datang kabar kematiannya, atau menunggu sampai sang suami telah berumur 90 tahun. Dan apabila hilangnya suami dalam kemungkinan tidak selamat maka istri hendaknya menunggu selama empat tahun kemudian melakukan iddah kematian.

Menyikapi perbedaan pendapat para ulama dalam persoalan ini maka pertama kali yang harus dilakukan seorang istri yang kehilangan suami tanpa ada kabar apa pun adalah datang kepada hakim untuk mengadukan persoalan keluarganya. Melalui seorang hakim ia akan mendapatkan pilihan yang tepat, tentunya setelah menimbang manfaat dan mudharat dengan kondisi yang ada, terlebih jika sang istri merasa dirugikan karena tidak mendapatkan nafkah dari suaminya yang telah meninggalkannya.

Majelis Fatwa Rabitah al-Alam AlIslami telah mengeluarkan fatwa, setelah menimbang dari sisi maqashid asy-syari’ah secara umum dan kaiddah-kaiddah tentang raf’ul haraj, maka wanita yang kehilangan suami hendaknya ia menunggu suaminya dan tidak menyatakan kematiannya melainkan dengan kabar yang jelas. Bagi hakim, dalam memutuskan masa penantian tidak boleh kurang dari satu tahun dan tidak lebih dari empat tahun sejak si suami dinyatakan hilang. Di samping itu, harus memanfaatkan sarana-sarana komunikasi dan berita untuk mencari kabar si suami. Setelah masa panantian yang telah ditetapkan oleh hakim habis maka hakim memutuskan bahwa suaminya telah meninggal, sehingga sang istri melakukan iddah kematian. Jika istri merasa ada mudharat yang akan menimpanya dalam masa penantian yang telah ditetapkan oleh hakim maka hakim diperbolehkan memisahkan hubungan suami-istri dengan alasan mudharat. Wallahu a’lam.  (hujjah.net / Keluarga Dakwah)

Posting Komentar

 
Top