Keluarga Dakwah - Suami adalah kepala rumah tangga yang pundaknya memikul tanggung jawab keluarga, istri, dan anaknya. Menyayangi, mendidik, melindungi, dan menafkahi adalah tanggung jawabnya sebagai suami.
Istilah tanggung jawab itu kita sering menyebutnya dengan nafkah, yang terdiri dari dua macam: nafkah lahir dan nafkah batin. Nafkah lahir meliputi semua kebutuhan pokok untuk menopang kehidupan; sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal). Sedangkan nafkah batin meliputi semua hal yang dapat melahirkan ketentraman hati bagi setiap anggota keluarga, termasuk di dalamnya adalah kasih sayang dan pendidikan moral.
Nafkah disyariatkan untuk menjaga keseimbangan hidup keluarga, ketika istri diwajibkan untuk taat kepada suami maka pada saat yang bersamaan suami wajib memberi nafkah kepada istri. Suami yang tidak menafkahi istrinya tanpa udzur syar’i maka ia telah berbuat durhaka. Begitu juga dengan istri yang tidak menaati suaminya maka dia telah berbuat durhaka. Kedurhakaan seperti ini dalam istilah syar’i disebut dengan nusyuz.
Apa Akibat Nusyuz Bagi Istri?
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa nusyuz seorang istri adalah perilaku yang melampaui batas terhadap suami, contohnya seperti istri yang tidak taat kepada suami, menolak perintahnya, melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan amarahnya dan sejenisnya. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu katsir, 1/654)
Salah satu akibat bagi istri yang melakukan perbuatan nusyuz adalah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami ketika ia tidak mau kembali untuk taat terhadap suaminya.
Persoalan ini memang diperselisihkan oleh para ulama, jumhur ulama berpendapat seorang istri yang berbuat nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya dan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Pendapat yang lain menyatakan bahwa istri tetap berhak mendapatkan nafkah meski telah berbuat nusyuz kepada suaminya. (Mu’tashim Abdurrahman, Ahkamu Nusyuzy Az-Zaujah fi Syari’ah Al-Islamiyah, hal. 103)
Pendapat yang lebih rajih adalah pendapat yang pertama; yaitu pendapat jumhur ulama, dan pendapat inilah yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ilmu. Mereka beralasan bahwa nafkah yang diberikan kepada istri adalah bentuk ganti dari kesediaannya untuk tinggal bersama suami dan istimta’ bersamanya, jika istri tidak bersedia untuk dua hal itu maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah, sebagaimana suami tidak berhak memberi nafkah kepada istri yang belum diserahkan oleh keluarganya kepadanya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/281)
Mencabut hak nafkah istri karena perbuatan nusyuz bukan berarti juga mencabut nafkah anak-anaknya. Mereka, anak-anak, tetap harus mendapatkan hak nafkah dari sang ayah, hak nafkah anak tidak gugur dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh ibunya. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkamil Qur’an, 5/114)
Begitu juga dengan janin yang dikandung oleh seorang ibu yang berbuat nusyuz, ia berhak mendapatkan nafkah dari sang ayah, sebagaimana bayi yang sedang disusuinya, ini adalah pendapat yang rajih dan dipilih oleh mayoritas ahlul ilmi. (Ibnu Utsaimin, Syarhu al-Mumti’, 13/470)
Seorang istri yang berbuat nusyuz akan berhak mendapatkan nafkahnya kembali ketika ia bertaubat dari perbuatan nusyuznya itu dengan menyerahkan diri kepada suami dan menaatinya. Namun jika dengan hal itu tidak cukup memberi solusi maka hendaknya perkara ini diangkat kepada hakim dan hakim akan memutuskan dengan kebijakannya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/227) (hujjah net)
Posting Komentar