Keluarga Dakwah - Pertanyaan : “Apa hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani? Apakah kita menganggap mereka sebagai ahlul kitab atau sebagai orang musyrik?”
Jawaban: Menikahi perempuan dari kalangan Yahudi dan Nasrani diperbolehkan menurut kebanyakan para ulama. Berkata Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni, “Alhamdulillah, tidak terdapat perselisahan di antara para ulama tentang kebolehan menikahi perempuan-perempuan merdeka dari kalangan ahlul kitab. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, Ustman, Thalhah, Khudzaifah, Salman, Jabir dan lainnya.” Ibnu Mundzir menambahkan, “Tidaklah benar anggapan bahwa seseorang dari kalangan salaf mengharamkan menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani. Diriwayatkan dari Khalal dengan sanadnya bahwa Khudzaifah, Thalhah, dan Jaruud bin Mu’la menikahi perempuan dari kalangan ahlul kitab. Dan seperti itulah pendapat kebanyakan para ulama. (Al-Mughni juz 7/99)
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
االْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (Al-Maidah: 5)
Yang dimaksud dengan al-muhsanaat di dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka yang menjaga kehormatannya. Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dan itu adalah pendapat jumhur ulama’. Mereka berpendapat seperti itu supaya tidak tergabung dua sifat didalam perempuan, yaitu ahlu dzimmah (orang Nashrani atau Yahudi yang tunduk dan patuh dengan pemerintahan Islam) sedangkan ia tidak menjaga kehormatannya, sehingga walaupun ia ahlu dzimmah, jika ia tidak menjaga kehormatannya, maka keadaannya tetap dihukumi sebagai sesuatu yang buruk dan hina dan tidak boleh untuk dinikahi. Sehingga orang-orang tidak akan mengambil kesimpulan dengan menyamakan suami dan istri, yaitu sama-sama dalam keadaan hina dan buruk. Sedangkan yang nampak dari ayat tersebut, maksud dari al-muhsanaat adalah menjaga kehormatannya dari perbuatan zina, sebagaimana firman Allah Ta’ala
مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَان
Artinya: “Karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” (An-Nisa’: 25)
(Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Ibnu Katsir, juz 3/42)
Orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah orang-orang kafir dan musyrik sesuai dengan nash Al-Qur’an. Akan tetapi dihalalkan menikahi perempuan dari kalangan Yahudi dan Nashrani sebagai bentuk pengkhususan dari Allah Ta’ala. Allah berfirman,
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Sungguh Allah Ta’ala telah menyifati mereka sebagai kaum yang menyekutukan-Nya. Allah berfirman,
تَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah : 31)
Mereka adalah kaum kafir dan musyrik, namun Allah Ta’ala menghalalkan perempuan dari kalangan mereka untuk dinikahi dengan syarat bahwa mereka adalah perempuan yang menjaga diri mereka dari perbuatan keji. Ini adalah bentuk pengkhususan dari ayat yang terdapat pada surah Al-Baqarah di atas.
Akan tetapi harus diketahui, bahwa yang paling utama dan yang paling selamat adalah tidak menikahi kalangan ahlu kitab. Apalagi pada zaman sekarang, sangat susah sekali mendapatkan perempuan dari kalangan Yahudi dan Nashrani yang menjaga diri dari perbuatan keji dan munkar.
Berkata Ibnu Mundzir, “Yang paling utama adalah tidak menikahi kalangan ahlu kitab, karena Umar berkata kepada mereka yang menikahi para perempuan dari ahlu kitab, “Ceraikanlah mereka!” Maka mereka menceraikannya kecuali Hudzaifah. Maka Umar berkata kepada Hudzaifah, “Ceraikanlah!” Hudzaifah bertanya kepada Umar, “Apakah kamu bersaksi bahwa perempuan ahlu kitab itu haram?” Umar menjawab, “Dia adalah bara api (yang akan membakarmu), ceraikanlah!” Hudzaifah bertanya lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa perempuan ahlu kitab itu haram?” Umar menjawab, “Dia adalah bara api(yang akan membakarmu), ceraikanlah!” Hudzaifah menjawab, “Aku mengetahui bahwa dia adalah bara api, akan tetapi ia dihalalkan untukku.” Setelah beberapa saat, akhirnya Hudzaifah menceraikannya. Kemudia ditanyakan kepadanya, “Kenapa engkau tidak langsung menceraikannya ketika Umar menyuruhmu?” Hudzaifah berkata, “Aku tidak suka jika manusia melihat bahwasannya aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan. Akan tetapi hal itu tetap aku lakukan karena banyak dari mereka yang hatinya cenderung pada perempuan ahli kitab, sehingga aku nanti akan jadi pembenaran bagi mereka, dan hal itu tetap aku lakukan karena seringkali pernikahan antara muslim dan ahlu kitab akan menghasilkan anak yang cenderung kepada ibunya (ahlu kitab).” (Al-Mughni 7/99)
Berkata Syaikh bin Bazz Rahimahullah, “Apabila perempuan dari kalangan ahlu kitab tersebut telah diketahui bahwa mereka menjaga kehormatan dan menjauhi berbagai macam keburukan, maka diperbolehkan untuk menikahi mereka. Karena sesungguhnya Allah telah menghalalkan bagi kita untuk menikahi perempuan dari kalangan ahlu kitab, dan Allah juga telah menghalalkan makanan-makanan mereka.
“Akan tetapi pada zaman sekarang ditakutkan jika menikahi mereka, maka yang didapati justru keburukannya yang amat banyak. Hal itu lantaran mereka seringkali mengajak kepada agama mereka, dan seringkali pernikahan dengan ahlu kitab menjadikan anak-anak mereka condong ke Nashrani. Dan ini merupakan bahaya yang sangat besar. Sebagai orang yang beriman kepada Allah maka sebaiknya tidak menikahi mereka sebagai bentuk kehati-hatian. Alasannya adalah selain ditakutkan bahwa mereka melakukan perbuatan keji dan tidak bisa menjaga kehormatan, mereka juga pada dasarnya tidak beriman kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi jika menikahi mereka memang sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggal, maka tidak mengapa menikahi mereka. Dan jika dengan dengan menikahi mereka akan terjaga kemaluan dan pandangannya. Namun jangan lalai dari mendakwahi mereka supaya meraka masuk Islam, dan jangan lalai dari keburukan yang mereka bawa berupa ajakan mereka untuk menjadi kafir atau ajakan mereka kepada anak-anak supaya menjadi kafir.” (Fatawa Islamiyah Juz 3/172)
Wallahu ‘Alam
Diterjemahkan dari: Islamqa.info
Posting Komentar