Keluarga Dakwah - Semenjak akad nikah dinyatakan sah oleh para saksi, saat itu pula suami mulai terbebani dengan kewajiban menafkahi istrinya. Kewajiban ini akan berakhir ketika telah terjadi perceraian antara keduanya dengan ketentuan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Kemudian, semenjak ruh ditiupkan ke jasad janin yang ada dalam kandungan istrinya, saat itu pula suami mulai terbebani kewajiban untuk menafkahi anak yang menjadi darah dagingnya tersebut.
Cara menafkahinya adalah dengan memenuhi asupan gizi dan pemeliharaan kesehatan istrinya. Karena gizi dan kesehatan janin masuk melalui ibunya. Dari sini pula dibangun hukum wajibnya memberi upah menyusui anak. (Al-Muhadzab, 2/164; Nihayatul Muhtaj, 7/211; Al-Mughni, 9/288)
Perceraian sama sekali tidak menggugurkan kewajiban mantan suami untuk menafkahi anaknya.
Oleh sebab itu, hukum ini berdampak pada kasus perceraian bain atau talak bain yang terjadi saat istri dalam kondisi hamil.
Dalam kasus ini, menafkahi mantan istri dan menyediakan tempat tinggal untuknya hingga ia melahirkan menjadi kewajiban mantan suami yang harus ditunaikan. Para ulama sepakat akan hal ini. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/669; Jawahir al-Iklil, 1/604; Al-Qalyubi, 4/81; Al-Mughni, 7/606-608)
Allah berfirman,
وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
Sampai pada pembahasan ini, ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih soal apakah suami tetap wajib menafkahi istri yang berbuat nusyuz kepada suami sementara dia dalam keadaan hamil. Pembahasan lebih detail silakan merujuk ke kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, al-Kuwaitiyah (16/274)
Dengan demikian, maka sebenarnya para ulama tidak membedakan hukum yang berlaku bagi seorang ayah terkait kewajiban menafkahi anak, baik ketika ayah tersebut belum menceraikan istrinya (ibu si anak), atau setelah menceraikannya.
Kapan Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Kandungnya Berakhir?
Para Ulama sepakat bahwa seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang masih kecil sampai anaknya menginjak baligh.
Ibnu Mundzir mengatakan,
وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ. وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ، وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ، فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه
“Seluruh ahli ilmu yang kami belajar kepadanya berijmak wajibnya seorang ayah untuk memberi nafkah anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta, karena anak seseorang adalah bagian dari dirinya, ia adalah bagian dari ayahnya. Maka, sebagaimana wajibnya seorang ayah untuk menafkahi dirinya dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi bagian dari dirinya dan dirinya sendiri.” (Al-Mughni, 8/171)
Dasar hukum yang melandasi hukum wajibnya menafkahi anak adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak–anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka.” (Ath-Thalaq: 6)
Ayat di atas secara eksplisit menerangkan wajibnya seorang ayah memberi upah jasa susuan untuk anaknya.
Dalam ayat lain disebutkan,
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233) {Dakwah.id}
Posting Komentar