0


Keluarga Dakwah - Kehidupan berkeluarga bagi seorang mukmin bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis semata. Namun hal itu di mata seorang mukmin menjadi kenikmatan yang sarat dengan amal sholih serta ladang kebaikan untuk meraih Jannatur Rohman. Betapa indahnya ungkapan dalam al Quran, tatkala menyinggung tentang kehidupan berkeluarga;

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“… mereka (para istri) menjadi pakaian bagi kalian dan kalian menjadi pakaian bagi mereka..” (Al Baqoroh: 187)

Dikarenakan antara mereka berdua menjadi penutup aurat bagi masing-masing. Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa kebersamaan suami-istri ibarat seseorang dengan bajunya ke mana ia pergi senantiasa tertutupi dengan bajunya. (Al Jami’ li Ahakmil Quran, Imam Al Qurthubi: 2/693(

            Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya menukil pendapat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa makna dari ayat tersebut adalah mereka (para istri) menjadi tempat singgah (pelabuhan jiwa) bagi para suami dan begitu sebaliknya.  (Tafsir Al Quran Al Adzim, Imam Ibnu Katsir: 1/208)

Duhai indahnya jika pasangan sumai-istri seperti itu terus menerus. Namun seringnya di awal pernikahan kobaran cinta masih menyala-nyala. Sapaan mesra dari belahan jiwa selalu menebar asa, mengusir gundah gulana dalam dada. Tapi tatkala waktu telah berjalan, hal baru di waktu lalu telah menjadi usang,  sapaan mesrapun tak kunjung datang, percekcokan dengan atas nama cinta menjadi kebiasaan, masing-masing saling menuntut untuk diberi perhatian dan pengertian namun seringnya mereka tak menjaga mana hak dan kewajiban.

Memang telah menjadi sunnatullah bahwa bahtera rumah tangga tak akan pernah sepi dari gejolak ombak yang menyapa, tiupan angin yang datang menerpa. Namun itu semuanya hendaknya disikapi oleh seorang mukmin dan mukminah sebagai sebuah pernak-pernik hiasan kehidupan yang sarat dengan makna dan pelajaran.

Dalam makalah sederhana ini penulis mencoba mengangkat pemaparan tentang pilar-pilar utama dalam menggapai keluarga idaman yang seringya disebut sebagai keluarga sakinah. Meskipun telah banyak disebutkan dalam beberapa literatur tentang hal tersebut, namun masih banyak orang yang tidak mengetahuinya disebabkan oleh banyak faktor bisa jadi kurangnya ilmu atau belum meluasnya kesadaran untuk menuju ke arah itu. Tentunya tema ini, masih aktual untuk dikemukakan mengingat problematika rumah tangga adalah bagian dari kehidupan manusia yang bersentuhan setiap hari.

Keluarga idaman dalam perspektif  Al Quran

            Telah disebutkan dalam al Quran, di antara hikmah disyari’atkannya berkeluarga adalah demi menggapai ketenangan jiwa serta menghiasi kehidupan dengan warna kasih sayang dan cinta. Allah ta’ala telah berfirman :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah diciptakan-Nya bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri agar kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir”. (QS. Ar Rum: 21)

            Dari ayat tersebut, bisa diambil sebuah ibrah ataupun pelajaran bahwa perintah Allah ta’ala kepada manusia untuk menikah  memiliki tujuan menggapai tiga unsur kemaslahatan (kebaikan) yang diebutkan dalam ayat tersebut. Ketiga unsur kemaslahatan itu adalah sakinah, mawaddah dan rohmah. Dengan kata lain, terbentuknya keluarga idaman manakala terwujudnya tiga unsur kemaslahatan tersebut. Ketika tiga unsur itu ada maka itulah potret keluarga idaman.

            Untuk itulah perlunya penggalian makna ketiga unsur tersebut :

Sakinah; secara etimologi adalah ketenangan dan kemantapan.

Mawaddah, secara etimologi bermakna kecintaan dan pengharapan.

Rohmah, secara bahasa memiliki makna kelembutan, kasih sayang, kebaikan dan kenikmatan.

Imam Ibnu katsir menuturkan dalam tafsirnya, “Merupakan bagian dari rohmat Allah untuk bani Adam diciptakan-Nya pasangan-pasangan mereka  dari jenis mereka (bukan dari jenis jin atau selain manusia) dan telah menjadikan di antara mereka mawaddah yaitu rasa cinta dan rohmah yaitu kasih sayang (ro’fah), sesungguhnya seorang laki-laki menjaga istrinya dikarenakan kecintaannya kepadanya atau kasih sayangnya untuknya disebabkan dirinya memiliki keturunan darinya atau kebutuhan istri terhadap nafkah dan kelembutan di antara keduanya”. (Tafsir Al Quran Al Adzim, Imam Ibnu Katsir: 3/414)

           Dengan memahami tujuan berkeluarga tersebut, pasangan suami-istri hendaknya berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan ketiga rasa itu. Tentunya perlu disadari bersama bahwa hidup di dunia fana ini tak lepas dari permasalahan-permasalahan yang dengannya Allah menguji kita apakah kita termasuk yang bersyukur dan sabar ataukah termasuk orang kufur. Namun betapapun besarnya ujian yang menerpa kehidupan keluarga hendaknya tetaplah berupaya menghadirkan ketiga rasa itu sebagai solusi.

           Tidak layak bagi pasangan suami-istri mukmin-mukminah berpaling dari ketauladanan sumi-istri ideal yaitu Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam beserta para istri-istri beliau kemudian mengambil sosok-sosok pasangan suami-istri zaman kini yang dipenuhi kemaksiatan sebagai contoh ataupun dijadikan figure. Cukuplah bagi kita ketauladanan yang ditampakkan dari pribadi luhur dan insan pilahan Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam beserta istri-istri beliu dan juga para murid sekaligus para sahabat beliau. Tengoklah ketegaran beliau  shallahu ‘alaihi wasallam tatkala menghadapi ujian dalam peristiwa “haditsatul ifki” yaitu tuduhan dari kaum munafikin bahwa istri beliau ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha berlaku serong. Sungguh ini adalah tuduhan yang keji dan tak pelak membuat semua penduduk Madinah gempar serta hati Rosululloh pun bersedih. Namun apakah serta merta Rosululloh mencampakkan dan berlaku kasar terhadap istrinya? Tidak, sekali-kali tidak. Denga ketabahan dan kesabaran yang dimiliki, beliau berupaya untuk menjaga agar jalinan renda kemesraan dan kasih sayang tetap terajut. Hal itu terbukti dengan sapaan beliau kepada ‘Aisyah; “kaifa tiikum? (bagaimana kabarmu?) setiap kali mengunjungi beliau.

           Dari uraian tersebut, bisa diambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa terwujudnya ketiga unsur kebaikan dalam pernikahan dan keluarga adalah dengan adanya tiga pilar pendukung yang hakikatnya adalah sebuah anggota komponen kelurga itu sendiri; yaitu suami yang sekaligus menjadi ayah bagi anaknya, istri yang sekaligus ibu bagi anaknya dan anak yang menjadi buah hati dan penyejuk jiwa bagi kedua orang tuanya. Dalam hal ini, kesholihan dari masing-masing anggota keluarga menjadi penentu dan factor utama terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan rohmah. (Himayah Foundation / Keluarga Dakwah)

Posting Komentar

 
Top