Keluarga Dakwah - Kisah itu bercerita tentang seorang wanita Madinah yang meninggal dunia. Lalu, didatangkanlah wanita yang biasa memandikan jenazah. Singkat kata, ketika tengah mengguyurkan air untuk memandikan jasad jenazah tersebut, ia kemudian mengguyur air ke kemaluannya. Tiba-tiba ia menyebut mayat dengan kata-kata yang jelek, “Duhai, betapa banyak kemaluan ini berzina?.” Tetapi apa yang terjadi? Apakah ia dibiarkan begitu saja, sekalipun orang yang dituduh berzina adalah mayit? Lantas, apa yang terjadi kemudian? Tiba-tiba saja, tangan wanita yang memandikan itu menempel di tubuh si jenazah –tepatnya di kemaluannya. Seolah ada magnet yang kuat menariknya, hingga ia tidak kuasa dan mampu untuk menggerakkan tangannya. Ia pun menutup pintu agar tidak ada seorang pun yang melihat kejadian tersebut.
Tapi keluarga si jenazah ada di luar ruang pemandian jenazah. Mereka menanti untuk mengafani si jenazah. Mereka pun bertanya, “Apakah kami berikan kain kafannya?” si pemandi jenazah menjawab, “Sebentar lagi!.” “Apakah kami berikan kain kafannya?” “Sebentar!!.” Tetapi salah satu kerabat jenazah pun memaksa masuk, dan mendapati pemandangan yang seperti itu; tangan pemandi jenazah menempel di tubuh jenazah.
Akhirnya, mereka mendatangkan para ulama. Di antara mereka berkata, “Tangan si pemandi mayit harus dipotong, agar mayit bisa dikuburkan, karena menguburkan jenazah adalah wajib.” Ulama yang lain berkomentar, “Bahkan, kita iris saja tubuh si jenazah, agar bisa membebaskan si pemandi jenazah. Karena orang yang masih hidup lebih diutamakan daripada orang yang sudah mati.” Semua jawaban tak elok.
Perdebatan pun semakin tajam. Para ulama bingung dalam memberikan solusi terhadap masalah yang tengah mereka hadapi; apakah mereka memotong tangan si pemandi jenazah, atau mengiris bagian tubuh jenazah. Akhirnya, mereka pun bertanya kepada Imam Malik bin Anas –Radhiyallahu anhu, “Aih, kenapa kita berselisih, padahal di tengah kita ada Imam Malik?” mereka pun pergi menghadap Imam Malik, dan menanyainya. Imam Malik pun segera datang ke lokasi. Dan bertanya kepada si pemandi jenazah dari balik hijab, “Apa yang telah engkau katakan tentang si jenazah?” “Wahai Imam, aku telah melontarkan tuduhan zina kepadanya.” Jawabnya. Imam Malik pun memberikan jawaban dengan menitikkan air mata, “Ma’adzallâh, betapa beratnya dosa menuduh berzina.” Kemudian beliau memerintahkan agar beberapa wanita masuk menemui wanita si pemandi jenazah, dan menderanya delapan puluh kali. Sebagai pengamalan terhadap surat An-Nûr ayat : 4.
Si pemandi jenazah pun didera delapan puluh kali. Pada deraan ke tujuh puluh sembilan, tangannya belum bisa terlepas juga. Dan ketika, deraan yang ke delapan puluh, barulah tangan itu terlepas. Sejak kejadian itulah, masyhur ungkapan, Lâ yuftâ wa Mâlik fil Madînah.”
Sungguh, kita belajar banyak dari kisah ini. Bahwa, selain zina sebagai perbuatan, ada dosa yang juga dikategorikan sebagai dosa besar, yang sering diremehkan; qadzaf, menuduh zina tanpa bukti, dan tanpa 4 saksi.
Walaupun ma’ruf; sudah jadi rahasia umum bahwa jenazah itu dulunya, pezina, tapi syariat Allah berlaku pada dakwaan; mana 4 saksi? Maka, melanggar kehormatan sesama, menghina dosa yang diperbuatnya, dan mengungkap aibnya adalah perbuah yang seyogianya dijauhi. Ini berlaku pada yang hidup dan mati.
Pada si hidup, si penghina dosa akan membantu syetan dalam menjerumuskan si pendosa sehingga ia berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Inilah yang dilakukan Umar bin Khattab ketika menyadarkan seorang pemuda yang dikenal sebagai peminum khamer. Kata beliau, “Beginilah cara menasehatinya, maka ingatkanlah saudara kalian yang berbuat khilaf, lalu tutupilah dan beritahukanlah kesalahan-kesalahannya –secara rahasia. Berdo’alah kepada Allah agar Allah memberi taubat kepadanya dan janganlah kalian menjadi penolong-penolong syetan untuk membinasakan saudara kalian.”, dan kita juga belajar dari kisah taubatnya si pembunuh seratus nyawa; jangan seperti si abid yang tertipu dengan pembunuhan 99 nyawa, bukan kata tulusnya; taubat. Maka, jangan menjadi pembantu syetan dalam menjerumuskan saudara hingga ia berputus asa dari rahmat-Nya.
Dan pada si mati, juga tidak boleh; siapa kita hingga memasti dosa, dan menghakimi??
Imam Ahmad mengeluarkan sebuah riwayat bahwa Wahab bin Munabbih berkata, “Sesungguhnya ada seorang musafir yang memasuki sebuah desa. Ternyata ada seorang lelaki dari pembesar desa tersebut yang meninggal dunia. Lalu ia keluar desa tersebut sembari berkata, “Aku tidak akan menguburkan diktator ini.” Kemudian dia tertidur sejenak, lalu ada seseorang yang mendatanginya seraya berkata, “Wahai fulan, apakah engkau memiliki sesuatu dari rahmat Allah?” ia menjawab, “Tidak” lelaki itu bertanya hingga tiga kali, dan tiga kali pula ia menjawab tidak. Lalu lelaki itu berkata, “Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada waktu sakitnya orang ini.” (Az-Zuhd, hlm. 141, dalam Mutiara Zuhud). Karena bisa jadi, ia sudah bertaubat kepada Allah, sebelum ajal menjemputnya. Dan ini termasuk salah tanda Allah menginginkan kebaikan kepadanya; memberinya taufik untuk beramal shalih sebelum matinya. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Posting Komentar