Keluarga Dakwah - Pada tahun 6 SH, Rasulullah menulis surat kepada para penguasa Timur Tengah agar masuk Islam. Surat itu dikirimkan oleh kurir bernama Hatib bin Abi Balta’ah. Sesampainya di Mesir, Hatib disambut baik dengan raja Muqauqis. menyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah, Selain itu, raja tersebut juga memberikan hadiah keledai dan kuda putih.
Di tengah perjalanan, Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Mariyah tidak banyak bicara selama perjalanan ke Madinah. Jarak Madinah dan Mesir yang jauh juga mungkin menjadi luka tersendiri di hati Mariyah. Hatib rupanya memahami kegelisahan perempuan itu . Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Ketika mereka sampai di Madinah, Rasul menikahi Mariyah dan memberikan Shirin kepada Hassan bin Tsabit. Setelah menikah, Nabi menempatkan Mariyah di rumah Haritsah binti Nu’man selama satu tahun. Dan selama itu pula Nabi memperlakukan Mariyah dengan begitu istimewa hingga istri Nabi yang lain menjadi cemburu, apalagi Aisyah dan Hafsah. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal. Apalagi ia nanti juga akan melahirkan anak Rasulullah.
Ibrahim bin Rasulullah.
Ibrahim dilahirkan pada tahun 8 H di Kota Madinah. Dia adalah anak terakhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dilahirkan dari rahim Maria al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha.
Di usia ke delapan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit. Hingga pada suatu malam ketika Ibrahim mengalami sakratul maut, Rasulullah bersabda,
“إن العين تدمع، والقلب يحزن، ولا نقول إلا ما يُرْضِى ربنا، وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون” رواه البخاري
“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Tanpa sadar air mata Nabi bercucuran. Tentu kabar ini adalah kabar duka yang mendalam untuk Nabi dan Mariyah. Bayi Ibrahim ini kemudian dimakamkan di pemakaman Baqi.
Selang 5 tahun kematian putranya, Mariyah kemudian dikejutkan dengan kematian suaminya, Muhammad SAW. Setelah itu, ia bertekad untuk menyendiri dan menujukan hidupnya untuk Allah semata. Pada tahun 637 M, Mariyah dikabarkan wafat dan dishalatkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Baqi bersama putranya.
Kalau kita perhatikan perjalanan hidup Rasulullah bersama anak-anaknya, niscaya kita dapati pelajaran dan hikmah yang banyak. Allah Ta’ala mengaruniakan beliau putra dan putri yang merupakan tanda kesempurnaan beliau sebagai manusia. Namun Allah juga mencoba beliau dengan mengambil satu per satu anaknya sebagaimana dahulu mengambil satu per satu orang tuanya tatkala beliau membutuhkan mereka, ayah, ibu, kakek, dan pamannya. Hanya anaknya Fatimah yang wafat setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah juga tidak memperpanjang usia putra-putra beliau, salah satu hikmahnya adalah agar orang-orang tidak mengkultuskan putra-putranya atau mengangkatnya menjadi Nabi setelah beliau. Bisa kita lihat, cucu beliau Hasan dan Husein saja sudah membuat orang-orang yang lemah terfitnah. Mereka mengagungkan kedua cucu beliau melebih yang sepantasnya, bagaimana kiranya kalau putra-putra beliau dipanjangkan usianya dan memiliki keturunan? Tentu akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Hikmah dari wafatnya putra dan putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sebagai teladan bagi orang-orang yang kehilangan salah satu putra atau putri mereka. saat kehilangan anaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar dan tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai Allah. Ketika seseorang kehilangan salah satu anaknya, maka Rasulullah telah kehilangan hampir semua anaknya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya..
Posting Komentar