Keluarga Dakwah - Awal menjalin hubungan cinta merupakan garis start penentu arah dalam pembinaan rumah tangga. Akankah rumah tangga yang dibina menuju keridhaan Allah ataukah kemurkaan-Nya. Namun sering kali awal permulaan ini dianggap bukan suatu hal yang penting dan sering kali diremehkan.
Seringkali kita dapati bahwa banyak yang menjalin cinta dengan cara pacaran. Bahkan di era globalisasi saat ini pacaran telah membudaya dan menjadi bagian hidup kaum muda. Tak ketinggalan pula kalangan orang tua juga turut berpartisipasi dalam memasyarakatkannya. Sering mereka latah dengan ungkapan Tanya kepada anak muda yang dijumpainya : “Sudah punya pacar apa belum?”.
Mereka berdalih bahwa pacaran adalah ajang untuk saling kenal dan memahami calon “pasangan”. Dengan pacaran, kadar kedalaman cinta “sang calon” bisa diukur dan diuji. Berangkat dari alasan inilah, kita dapati banyak kaula muda yang berpacaran sudah bertahun-tahun namun juga belum menikah.
Padahal, jika kita perhatikan dan amati, pacaran merupakan ajang saling menipu dan berbohong. Pacaran adalah sebuah dusta atas nama cinta. Bagaimana tidak? Hal itu bisa dibuktikan bahwa tatkala janjian kencan, masing-masing pihak berupaya untuk menghias diri dengan hiasan yang sebenarnya tidak mencerminkan jati dirinya yang sesungguhnya. Tidak jarang mereka memakai “topeng” dalam rangka menutupi kekurangan-kekurangan dirinya. Ditambah lagi, obral janji-janji kosong dan kata-kata manis yang sering menjadi hiasan pembicaraan ketika kencan.
Mereka pun beranggapan bahwa dengan pacaran pula kekurangan-kekurangan dari “sang calon” dan ketidak-cocokan darinya bisa terkuak. Padahal jika disadari, mana ada orang yang tidak memiliki kekurangan, mana ada orang tidak luput dari ketidak-cocokan dengan orang lain, apakah setiap orang dalam setiap saat bisa berserasi dengan yang lain? Tentu ini adalah perkara yang mengada-ada.
Tidak sadarkah mereka kalau pacaran adalah muqoddimah dari perbuatan zina? Tidakkah mereka sadar bahwa di saat berduaan maka syaithonlah yang menjadi teman mereka? Rosululloh shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطُانُ
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan pihak ketiganya adalah syaithon”. (HR. Tirmidzi)
Kalau syaithon telah menjadi pihak ketiga bagi mereka, lalu apa kiranya yang hendak ia sarankan untuk mereka yang sedang berduaan? Tidak lain dan tidak bukan adalah mengambil kesempatan untuk mengajak sesuatu yang “lebih berani” dari sekedar berduaan. Mulai dari kata-kata manis, berlanjut dengan saling bergandengan tangan, kemudian berpelukan, dan seterusnya. Hingga akhirnya mereka terbawa ke lumpur dosa zina. Oleh karenanya, Allah ta’ala telah mengharamkan segala perbuatan yang menjurus kepada zina dengan firman-Nya :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al Isro’ : 32)
Hakikatnya semua yang dilakukan ketika pacaran adalah rangkaian zina yang diharamkan. Sebagaimana sabda Nabi shalahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak adam bagian dari (dosa) zina, dirinya pasti mendapatinya, maka zinanya mata adalah memandang, zinanya lisan adalah berbicara, dan nafsu berangan-angan serta berkeinginan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”. (HR. Bukhori)
Setelah keduanya bisa saling “menikmati”, ternyata belum tentu juga membawa jalinan cinta mereka menuju jenjang pernikahan. Bahkan ketika salah satu dari keduanya merasa bosan, maka dengan semena-menanya mencampakkan yang lain dan menganggap hubungan cinta di antara mereka berdua telah putus. Inilah kejahatan pacaran yang sesungguhnya.
Bagi mereka yang “berhasil” melanjutkan pacaran ke jenjang pernikahan beranggapan bahwa pernikahan yang mereka lalui dan kehidupan rumah tangga yang akan dijalani terasa semakin mesra dan harmonis. Padahal yang terjadi adalah rasa hambar dan kebosanan dikarenakan mereka telah bergaul sekian lama. Mereka memandang pasangan mereka tak ubahnya seperti teman sendiri yang telah dikenal.
Kalaupun mereka masih merasakan kemesraan, tentunya kemesraan yang dibangun atas dasar jasmani semata. Sementara ketika umur telah memudarkan kecantikan dan ketampanan mereka, saat itu pula benang-benang cinta pun mulai memudar. Inilah kemesraan yang semu.
Lebih dalam lagi, ketika kita menyadari, bahwa memulai rumah tangga dengan pacaran adalah seperti halnya memulai amalan yang mulia dengan amalan yang hina. Hakikatnya jalinan cinta ternodai dengan zina. Maka bagaimana mungkin sakinah-mawaddah dan rohmah akan senantiasa menghiasai rumah tangganya, sementara ibadah yang agung nan sakral diawali dengan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Sang Kholiq. Inilah cinta yang berhias durhaka. –wallaohul musta’aan–
Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولوالديه-
Posting Komentar