Keluarga Dakwah - Dalam kehidupan berumah tangga, terkadang kita terlalu berlebihan dalam mengungkapkan kasih sayang. Dalam ungkapan lain, sering kita berlaku sayang tidak pada tempatnya. Ungkapan sayang yang diberikan hanyalah kasih sayang yang semu.
Kasih sayang yang tidak berlandaskan ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hal itu nampak tatkala rasa sayang kita kepada istri atau sebaliknya kepada suami atau bisa juga kepada anak menjadi penghalang untuk menunaikan kewajiban dan menjalankan ketaatan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah terkadang kita merasa iba dan belas kasihan kepada anggota keluarga untuk dibangunkan di penghujung malam (waktu shubuh) demi menjalankan perintah sholat.
Dalam kenyataan lain, ungkapan sayang yang memanjakan terkadang menjadikan diri kita orang yang lebih mencintai anggota keluarga kita dari pada cinta kepada Allah dan Rosul-Nya. Sementara Rosululloh shallalahu ‘alaihi wasallam bersabada berkenaan dengan karakteristik orang yang mendapat kesempurnaan iman dan kelezatannya :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار
“Tiga perkara yang barang siapa tiga perkara ini ada padanya, ia mendapatkan manisnya iman : menjadikan Allah dan Rosul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang karena Allah dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke neraka”. (HR. Bukhori)
Tidakkah kita teringat kepada peringatan Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam kepada sahabatnya yang mulia Umar bin Khotthob radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau berkata : “Wahai Rosululloh, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku”. Lalu Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu”. Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri”. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam menimpali : “apakah baru sekarang, waha Umar?!” (HR. Bukhori)
Sering pula ungkapan sayang yang keluar dari diri kita terhadap salah satu anggota keluarga kita menjadi sebab masuk ke neraka. Sebagai contoh dalam masalah ini ketika kita memberikan kebebasan kepada istri untuk bersolek dan menampakkan keindahan tubuhnya kepada orang lain dengan berdalih bahwa apa yang dibebaskan adalah rasa kasih sayang kepada istri. Padahal bila dipikirkan sejenak, hal ini adalah bagian dari tindakan dayuts (tidak ada kecemburuan), sementara Rosululloh shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوْثٌ وَلاَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَلاَ رَجُلُةُ نِسَاءٍ
“Tidak masuk surga laki-laki dayuts, tidk pula para pecandu khomer dan tidak masuk surga pula wanita berperilaku laki-laki”. (HR. Abdur Rozaq)
Terkadang pula kita membiarkan anak gadis kita keluar rumah tanpa menutup aurat (tidak berjilbab). Berdalih sayang kepadanya karena ia masih muda dan ingin seperti teman sebayanya yang menikmati keceriaan usia remaja, sayang kalau nantinya ia tidak bisa bergaul sebagaimana temannya lain. Tentunya ini adalah kasih sayang yang menyesatkan, kasih sayang yang berujung pada murka Allah, karena telah meninggalkan perkara yang diwajibkan oleh Robb semesta Alam.
Kondisi yang lebih parah lagi tatkala kita menghalangi suami atau anak kita untuk bersama turut serta dalam amar ma’ruf-nahi munkar, berdalih dengan rasa sayang terhadap mereka agar mereka tidak mendapatkan resiko ataupun ancaman-ancaman buruk yang bisa menimpa mereka. Padahal rasa sayang seperti ini adalah bagian dari hembusan syaithon untuk menghalang-halangi seseorang memberikan loyalitas sepenuhnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hendaknya kita meneladani sosok wanita mulia yang bernama Khonsa’ –radhiyalahu ‘anha yang dengan rasa kasih sayangnya, beliau telah berhasil menghantarkan putra-putranya meraih gelar syuhada’ dalam peperangan Qodisiyah. Tatkala berita gugurnya keempat anaknya sampai ke telinga Khonsa’, ia justru berucap; “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan dengan kematian mereka. Aku berharap kepada-Nya agar mengumpulkanku bersama mereka dalam naungan rahmat-Nya”.(Al Istî’â fî ma’rifatil ashĥâb, juz 2 hal 90-91)
Demikianlah kasih sayang yang sesungguhnya. Kasih sayang yang mengungkapkan ketidak-relaan jika anggota keluarganya keluar dari ketaatan menuju kemaksiatan. Bukan dikatakan sayang, jika akhirnya berujung pada murka Allah dan jilatan panas api neraka.
Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولوالديه-
Posting Komentar