Jalinan Keliarga Dakwah - Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan martabat manusia”
Hadits tersebut memberi kita dua hal yang mendeskripsikan apa yang disebut sebagai kesombongan. Ketika seseorang memiliki salah satu dari dua hal tersebut, maka dia telah menjadi pribadi yang sombong. Di mana kepribadian tersebut tidak disukai oleh Allah ta'ala.
Dalam menerima apa yang diyakini sebagai kebenaran, kita seringkali terfokus pada siapa yang menyampaikan. Sebelum mendengarkan paparannya, kita terlebih dahulu melihat siapa yang berbicara, bagaimana latar belakangnya, apa gelarnya, berapa usianya, dan pertimbangan-pertimbangan subjektif lainnya yang membuat kita “yakin” kepada sang pembicara.
Sikap ini tidak sepenuhnya salah, namun seringkali “keyakinan” ini menjerumuskan kita kepada sebuah fanatisme. Di mana kita pada akhirnya berkesimpulan “pokoknya kalau si fulan yang ngomong pasti benar” dan terkadang kita menjadi menolak kemungkinan kebenaran yang lainnya dengan mengatakan “ini yang ngomong doktor, mufti timur tengah lho, antum tau apa dibanding beliau”.
Sehingga pada akhirnya kita menjadi pribadi yang egois dan jumud yang tak bisa melihat luas setiap persoalan. Kita menjadi bergantung pada orang-orang tertentu dalam menguak kebenaran akan sesuatu. Dan kita akan menjadi anak ayam kehilangan induk ketika sosok yang kita andalkan ternyata mempunyai batas kemampuan dan tak lagi mampu “melayani” kebutuhan kita kan kebenaran. Dan sungguh berbahaya ketika dalam kondisi tersebut, kita malah membabi buta dengan tetap berujar “pokoknya dia benar”.
Sejatinya dari hadits di atas Rasulullah SAW memberi isyarat bahwa seorang mukmin haruslah bersikap obyektif dalam mencari kebenaran. Seorang mukmin hendaklah menerima datangnya kebenaran dari siapapun, baik orang tersebut kaya atau miskin; terhormat ataupun sederhana; kuat ataupun lemah; dari temannya sendiri atau bahkan dari musuhnya.
Lalu sifat yang kedua adalah merendahkan martabat manusia. Terkadang seseorang melakukan sikap pilih-pilih dalam mencurahkan keramahan dan kebaikannya. Mereka enggan untuk bersikap santun terhadap orang-orang yang dianggap lebih rendah kedudukannya. Mereka senantiasa bersikap tinggi hati, enggan tersenyum, enggan menyampaikan salam, enggan berbicara kepada orang-orang yang lebih miskin.
Sikap seperti ini tentu sangat dilarang. Karena jabatan serta status sosial di dunia tidak pernah ada nilainya di mata Allah ta'ala. Allah ta'ala hanya menyediakan satu ukuran saja dalam menetukan mulia tidaknya seseorang; ketakwaannya. Manusia tanpa ketakwaan adalah manusia paling hina di mata Allah ta'ala.
Jadi sudah seharusnya seorang mukmin berusaha untuk mampu menjalin interaksi dengan semua manusia. Seorang mukmin harus senantiasa berusaha bersikap lembut dan penuh kasih sayang tanpa memandang strata sosial seseorang. Seorang mukmin tak perlu lagi peduli apakah dia seorang tuan ataupun pembantu; miskin atau kaya; terhormat atupun sederhana, semuanya berhaka mendapatkan kasih sayang serta kelembutannya.
Ketika seorang mukmin sudah mampu meninggalkan kedua hal tersebut. Maka sikap inilah yang dinamakan tawadhu (merendahkan diri). Tawadhu bukanlah sebuah sikap rendah diri yang membuat orang-orang meremehkan kita, namun tawadhu adalah sikap merendahkan diri di hadapan Allah ta'alah dengan memberikan penghormatan serta penghargaan yang tinggi kepada manusia.
Posting Komentar